Dampak Pernikahan Dini: Saat Tradisi Mengalahkan Hak Anak

Ilustrasi/int
Ilustrasi/int

Dilansir dari childmarriagedata.org, dalam tiga detik ada satu pernikahan anak yang terjadi di suatu negara. Indonesia menempati peringkat empat dalam perkawinan anak global dengan jumlah kasus sebanyak 25,53 juta jiwa (UNICEF, 2023).

Namun, dalam laporan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pemerintah Indonesia berhasil menurunkan tingkat perkawinan anak yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yakni 8,74 persen dengan capaian tahun 2023 mencapai 6,92 persen. 

Bacaan Lainnya

Tahun 2021 angka perkawinan anak menurun dari 10,35 persen menjadi 9,23 persen. Kemudian menjadi 8,06 persen di tahun 2022, dan menjadi 6,92 persen pada tahun 2023.

UU No 16 Tahun 2019 mengatakan bahwa, pernikahan hanya diizinkan apabila kedua belah pihak telah mencapai umur 19 tahun. Namun, tetap saja perubahan hukum tentang pernikahan ini tidak bisa mencegah praktik pernikahan anak di Indonesia. Adanya kasus dispensasi pernikahan menjadikan angka pernikahan anak masih sangat mengkhawatirkan.

Pernikahan anak yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung praktik tersebut. Faktor-faktor yang mendukung praktik pernikahan anak, salah satunya adalah kurangnya akses Pendidikan terutama pada orangtua yang memiliki anak remaja perempuan.

Selain itu kemiskinan juga ikut mendukung adanya praktik ini, karena anggapan bahwa anak perempuan merupakan beban dalam keluarga apabila tidak segera memiliki kehidupan sendiri. Anak perempuan yang dinikahkan diharapkan akan mampu membantu perekonomian keluarga, padahal ada banyak sekali dampak negatif yang akan menanti perempuan-perempuan belia ini saat menjalani kehidupan pernikahan.

Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat kita menjadikan anak-anak perempuan tidak mendapatkan hak yang layak sebagai seorang anak. Tidak mendapat pendidikan yang seharusnya, memiliki beban tanggung jawab di rumah lebih besar daripada laki-laki, dan juga tradisi budaya yang menganaktirikan anak perempuan menjadi alasan mengapa masih banyak praktik pernikahan anak terjadi.

Ada beberapa budaya yang mengatakan bahwa pantang hukumnya apabila perempuan menolak lamaran yang datang padanya, ini akan berkaitan dengan sulitnya mendapatkan jodoh ketika ia ingin menikah nanti.

Lalu, stigma perawan tua pada perempuan-perempuan usia matang yang belum menikah menjadi momok menakutkan bagi orangtua dan anak perempuan itu sendiri, akibatnya menikah muda menjadi solusi agar terhindar dari label tersebut.

Perempuan yang menikah pada usia dini, cenderung tidak akan melanjutkan pendidikan mereka karena akan sibuk mengurus keluarganya. Akibatnya adalah mereka tidak bisa mandiri secara finansial karena tidak memiliki keterampilan yang bisa digunakan untuk bekerja di sektor formal, karenanya perempuan-perempuan ini akan berputar pada lingkungan kemiskinan dan hanya mengandalkan ketergantungan ekonomi pada pasangan mereka.

Perempuan yang menikah pada usia belia juga rentan mengalami kematian, karena organ reproduksi mereka yang belum sepenuhnya matang dan akan mempersulit tubuh mereka pada saat kehamilan dan melahirkan.

Kehamilan pada usia muda lebih berisiko mengalami komplikasi, seperti preeklamsia, persalinan prematur, dan stunting pada anak. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa perempuan yang hamil sebelum usia 18 tahun, memiliki risiko kematian lebih tinggi saat melahirkan dibandingkan dengan perempuan yang hamil pada usia matang. Selain itu, bayi yang lahir dari ibu yang sangat muda rentan mengalami kematian neonatal.

Tekanan psikologis juga berpengaruh besar pada kesehatan mental bagi para pelaku pernikahan anak, karena beban tanggung jawab yang besar sebagai pasangan, orangtua, dan manusia tidak sebanding dengan kematangan emosional para remaja ini.

Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, dengan kata lain mereka diharapkan untuk bersikap lebih dewasa padahal kenyataannya, anak-anak dalam diri remaja ini masih mengakar kuat.

Maka manusia harus melewati tahap perkembangan remaja terlebih dahulu untuk mencapai tahap kematangan emosional. Namun, apa jadinya bila remaja-remaja di bawah usia 18 tahun ini mengemban tanggung jawab pernikahan yang begitu besar. Akibatnya pernikahan pada usia belia ini akan berdampak pada kesehatan mental mereka.

Kompleksnya masalah yang ditimbulkan akibat pernikahan usia dini mendorong kita untuk terus waspada akan praktik pernikahan anak di sekitar kita. Pemberdayaan perempuan harus terus dilaksanakan agar mereka dapat berdiri di atas kakinya sendiri, akses Pendidikan yang layak juga harus terus ditingkatkan untuk membuka pikiran dan kesadaran akan pentingnya mencapai tingkat Pendidikan yang layak sebelum memutuskan untuk menjalani kehidupan pernikahan.

Dengan adanya peran orangtua yang paham akan negatifnya pernikahan usia dini, lalu edukasi pemerintah yang terus dilakukan diharapkan kasus pernikahan anak di Indonesia dapat terus diminimalisir. Pencegahan pernikahan usia dini bukan hanya membantu generasi muda kita mencapai kehidupan yang layak di masa depan, namun juga mendukung pembangunan sosial yang lebih menyeluruh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *