Desa Adat Bali, Benteng Kearifan Lokal di Tengah Arus Globalisasi

Opini Aisah Ananda Isti
Opini Aisah Ananda Isti

Di tengah derasnya arus globalisasi yang berpotensi mengikis identitas budaya lokal, Bali tampil sebagai salah satu daerah yang tetap teguh menjaga akar tradisinya. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran strategis sistem pemerintahan yang unik, yaitu keberadaan Desa Dinas dan Desa Adat.

Keduanya berjalan berdampingan dan saling melengkapi. Desa Dinas berperan dalam urusan administratif pemerintahan modern, sementara Desa Adat (atau desa pakraman) memegang tanggung jawab dalam menjaga nilai-nilai budaya, tradisi, serta spiritualitas masyarakat Bali.

Bacaan Lainnya

Desa adat bukanlah sekadar komunitas sosial, melainkan sebuah struktur pemerintahan tradisional yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Konsep yang mendasarinya adalah Kahyangan Tiga, yaitu harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, serta manusia dengan alam.

Dalam praktiknya, desa adat menjalankan kehidupan masyarakat berdasarkan hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum ini menjadi pedoman dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali, mulai dari pelaksanaan upacara adat, pengaturan tata ruang, hingga pola interaksi sosial.

Yang menarik, awig-awig sebagai hukum adat telah mendapatkan pengakuan dalam sistem hukum nasional. Pemerintah Provinsi Bali pun secara konsisten memperkuat keberadaan desa adat melalui berbagai regulasi.

Dimulai dari Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 dan Perda Nomor 3 Tahun 2003, yang kemudian disempurnakan menjadi Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali. Kehadiran regulasi ini menjadi bukti bahwa desa adat tidak hanya dilestarikan, tetapi juga terus dikembangkan agar tetap relevan dengan dinamika zaman.

Kehidupan desa adat juga menunjukkan fleksibilitas luar biasa dalam menyikapi tantangan globalisasi. Pemerintah desa adat berperan aktif dalam menyusun dan menyesuaikan awig-awig agar tetap relevan.

Contohnya adalah pengaturan mengenai pembangunan fisik di wilayah desa. Banyak desa adat menetapkan batasan ketinggian bangunan, penggunaan material lokal, serta desain arsitektur yang sesuai dengan nilai estetika dan spiritual Bali. Pendekatan ini bukan bentuk penolakan terhadap modernisasi, melainkan upaya untuk menciptakan keselarasan antara kemajuan dan kearifan lokal.

Peran vital desa adat semakin terasa ketika melihat bagaimana masyarakat tetap menjadikan awig-awig sebagai rujukan kolektif dalam menghadapi perubahan. Di tengah derasnya arus informasi, digitalisasi, dan gaya hidup global, hukum adat ini tetap menjadi penjaga nilai-nilai luhur.

Bahkan, awig-awig berkembang dengan penyesuaian tanpa kehilangan esensi tradisionalnya. Ini membuktikan bahwa hukum adat mampu beradaptasi dan bersanding dengan sistem modern tanpa saling meniadakan.

Keberhasilan Bali menjaga identitas budaya melalui sistem desa adat seyogianya menjadi cermin bagi wilayah lain di Indonesia. Negeri ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, namun tanpa dukungan regulasi dan kelembagaan yang kuat, warisan tersebut rentan tergerus oleh budaya seragam yang dibawa globalisasi.

Karena itu, dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah sangat dibutuhkan untuk mendorong kebijakan yang memberdayakan masyarakat adat serta membuka ruang partisipasi yang lebih luas dalam pembangunan.

Lebih dari sekadar pelestarian budaya, penguatan desa adat mencakup berbagai aspek seperti perlindungan hukum, keberlanjutan ekonomi lokal, hingga pembentukan identitas nasional yang kokoh. Untuk mewujudkannya, perlu dilakukan pembaruan regulasi secara partisipatif, pelibatan generasi muda dalam kegiatan adat, serta kolaborasi lintas sektor yang mampu mengangkat potensi desa adat ke tingkat nasional maupun internasional.

Bali telah membuktikan bahwa menjaga tradisi bukan berarti menutup diri dari kemajuan. Justru, kekuatan budaya lokal menjadi fondasi yang kokoh dalam menghadapi tantangan global. Desa adat, sebagai jantung budaya Bali, harus terus dijaga agar tetap berdetak dan menghidupi nilai-nilai luhur Nusantara. Maka dari itu, memperkuat desa adat bukanlah pilihan, melainkan keharusan demi masa depan budaya Indonesia yang berakar kuat, berdaulat, dan berdaya saing tinggi di kancah dunia.

Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *