Ketika Amal Menjadi Ekonomi: Pesantren dan Paradoks Embeddedness

Penulis Ketika Amal Menjadi Ekonomi: Pesantren dan Paradoks Embeddedness - Syafiq Nifzani Mesgiantoro
Penulis Ketika Amal Menjadi Ekonomi: Pesantren dan Paradoks Embeddedness - Syafiq Nifzani Mesgiantoro

Tragedi ambruknya bangunan pesantren di Sidoarjo beberapa waktu lalu tidak hanya menyisakan luka mendalam, tetapi juga membuka ruang refleksi penting tentang bagaimana sistem ekonomi bekerja di lingkungan pesantren.

Di balik semangat gotong royong dan amal jariyah yang menjadi fondasi pembangunan, tersimpan logika sosial yang jarang dibicarakan. Ekonomi pesantren bergerak dengan cara yang berbeda dari mekanisme pasar modern.

Bacaan Lainnya

Logika inilah yang oleh Karl Polanyi disebut embeddedness, keterlekatan ekonomi pada nilai-nilai moral dan relasi sosial. Dalam konteks pesantren, ekonomi tidak berdiri sebagai sistem yang otonom dan rasional semata, melainkan menyatu dengan kehidupan sosial dan spiritual para santri serta masyarakat di sekitarnya.

Ekonomi yang Melekat pada Nilai Sosial dan Spiritual

Karl Polanyi berpendapat bahwa ekonomi tidak pernah benar-benar bebas dari nilai sosial. Tindakan ekonomi seperti berdagang, memberi, atau bekerja tidak semata-mata dimotivasi oleh keuntungan, tetapi juga oleh kepercayaan, solidaritas, dan kewajiban moral.

Fenomena ini tampak nyata di pesantren. Saat seseorang menyumbang untuk pembangunan asrama santri, membuka warung kecil di kompleks pesantren, atau turut urunan modal koperasi, tindakan tersebut lebih sering dipahami sebagai bentuk amal dan solidaritas ketimbang investasi bisnis. Uang di sini bukan sekadar alat tukar, melainkan simbol iman, loyalitas, dan kebersamaan.

Dalam sistem ini, figur kiai menempati posisi sentral. Ia bukan hanya pemimpin spiritual, melainkan juga penjaga amanah ekonomi. Hubungan ekonomi yang terbentuk tidak berbasis kontrak formal, melainkan pada kepercayaan dan nilai moral.

Di sinilah embeddedness bekerja: ekonomi bukan entitas terpisah, melainkan bagian yang menyatu dalam struktur sosial pesantren.

Paradoks Keikhlasan dan Akuntabilitas

Namun, kekuatan moral yang menjadi fondasi sistem ini juga menyimpan risiko. Ketika aktivitas ekonomi sepenuhnya bersandar pada keikhlasan dan rasa percaya, akuntabilitas sering kali terabaikan. Banyak proyek pembangunan di pesantren dilakukan tanpa perencanaan teknis matang, tanpa pengawasan profesional, karena semua dianggap sebagai urusan niat baik dan amal.

Polanyi sudah mengingatkan, dalam masyarakat yang ekonominya tertanam dalam nilai sosial, dibutuhkan lembaga formal yang mampu menjaga agar nilai-nilai itu tidak justru menjadi kelemahan. Dengan kata lain, embeddedness harus berjalan beriringan dengan profesionalitas, transparansi, dan tata kelola yang baik.

Kepercayaan adalah modal sosial yang sangat berharga, tetapi tanpa pengawasan yang kuat, ia dapat berubah menjadi sumber masalah. Tragedi di Sidoarjo menjadi pelajaran bahwa niat baik tidak boleh meniadakan disiplin teknis dan tanggung jawab profesional.

Ketika Amal Harus Disertai Tanggung Jawab

Pesantren sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi model ekonomi alternatif yang beretika, berkeadilan, dan berbasis kepercayaan sosial. Namun potensi itu hanya dapat bertahan bila nilai-nilai moral yang luhur dikombinasikan dengan manajemen yang profesional.

Embeddedness tidak berarti menolak rasionalitas modern. Sebaliknya, ia mengajak kita menempatkan rasionalitas ekonomi dalam bingkai nilai kemanusiaan. Ekonomi yang tertanam dalam nilai sosial dan spiritual akan lebih kokoh bila disertai akuntabilitas dan tata kelola yang baik.

Tragedi seperti di Sidoarjo mengingatkan pentingnya keseimbangan antara niat tulus dan profesionalitas. Keduanya bukanlah hal yang saling bertentangan, tetapi dua sisi dari satu prinsip: membangun ekonomi yang manusiawi, beretika, dan berakar pada iman.

Menjaga Keterlekatan, Menguatkan Kepercayaan

Krisis kepercayaan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk menengok kembali logika embeddedness. Di tengah dominasi pasar yang impersonal, pesantren membuktikan bahwa ekonomi yang manusiawi masih mungkin dijalankan. Namun agar nilai-nilai luhur itu bertahan, sistem tersebut harus diperkuat dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Ekonomi yang tertanam dalam nilai sosial bukanlah romantisme masa lalu, melainkan gambaran masa depan ekonomi yang berkeadilan. Dengan memadukan keikhlasan, gotong royong, dan profesionalitas, pesantren dapat menjadi teladan bahwa ekonomi tidak harus memisahkan moral dari rasionalitas, tetapi justru menyatukan keduanya dalam satu tujuan: membangun kesejahteraan yang berakar pada iman dan kemanusiaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *