Dialektika Bayani, Burhani, dan Irfani dalam Memaknai Budaya “Toron Tana” di Madura

Opini Mustain
Opini Mustain

Budaya toron tana di Madura merupakan salah satu warisan tradisi yang sarat makna, mencerminkan hubungan spiritual dan sosial masyarakat Madura dalam menyambut pertumbuhan awal seorang anak. Tradisi ini dijalankan dalam momen ketika seorang bayi pertama kali menapakkan kakinya di tanah, suatu peristiwa yang tidak sekadar bersifat fisik, tetapi menyimpan makna simbolik yang dalam.

Dalam studi epistemologi Islam, praktik ini menarik untuk dibaca melalui tiga pendekatan utama: bayani, burhani, dan irfani. Ketiganya memberikan kerangka konseptual yang membantu memahami praktik budaya lokal sebagai ekspresi pengetahuan yang bersumber dari teks, akal, maupun rasa.

Bacaan Lainnya

Dalam pelaksanaannya, toron tana dilakukan melalui prosesi adat yang melibatkan doa bersama, penyembelihan hewan, serta ritus menurunkan bayi ke tanah yang biasanya dipimpin oleh tokoh adat atau orang tua.

Tanah dalam konteks ini menjadi simbol keterhubungan manusia dengan alam, serta lambang kemandirian dan awal perjalanan hidup sang anak. Prosesi ini menyimpan sistem pengetahuan lokal yang kompleks dan dapat dipahami melalui pendekatan epistemologi Islam yang membuka ruang bagi interpretasi multidimensional terhadap tradisi.

Pendekatan pertama, epistemologi bayani, berpijak pada teks, khususnya Al-Qur’an, hadis, serta literatur klasik Islam. Dalam pendekatan ini, budaya toron tana dinilai dari ada atau tidaknya rujukan tekstual yang mendasari praktik tersebut. Jika tidak ditemukan dasar eksplisit dalam teks, maka pendekatan bayani yang kaku dapat menganggap tradisi ini sebagai bid‘ah.

Namun, corak bayani yang lebih moderat memungkinkan adanya toleransi terhadap praktik budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat, seperti menjauhi unsur syirik, tahayul, dan kebatilan.

Misalnya, pembacaan doa selamat dalam tradisi toron dapat dikaitkan dengan ajaran Islam mengenai tahlil atau keberkahan doa. Namun, bagian ritual penyembelihan hewan dapat memicu perdebatan apabila tidak secara langsung merujuk pada syariat kurban atau aqiqah.

Dengan demikian, pendekatan bayani memberikan batasan normatif: praktik budaya diperbolehkan selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip teks agama. Namun demikian, pendekatan ini membuka ruang diskusi yang konstruktif dengan budaya lokal apabila dilakukan dengan semangat pemaknaan yang inklusif.

Sementara itu, pendekatan kedua, epistemologi burhani, lebih menekankan pada nalar rasional dalam menilai praktik budaya. Dalam pandangan burhani, toron tana dimaknai sebagai simbol transisi anak dari ketergantungan total menuju kemandirian awal.

Tanah dalam ritual ini dianggap sebagai simbol kehidupan dan keterhubungan ekologis manusia dengan alam. Prosesi ini secara sosial dapat mempererat relasi antarkeluarga, memperkuat rasa syukur kolektif, dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal yang bermuatan edukatif.

Pendekatan burhani tidak terlalu mempermasalahkan apakah suatu tradisi memiliki dasar teks agama, selama praktik tersebut bermanfaat secara rasional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas Islam.

Bahkan, pendekatan ini dapat menjadi argumen yang kuat dalam mendukung pelestarian budaya sebagai bentuk peradaban dan identitas suatu masyarakat. Dengan cara ini, toron tana tidak hanya dipertahankan sebagai adat, melainkan juga sebagai sarana membangun identitas kultural yang mendalam di tengah arus globalisasi.

Lebih jauh, pendekatan ketiga yaitu epistemologi irfani, menawarkan pemahaman yang bersifat batiniah, transenden, dan intuitif. Tradisi toron tana dalam perspektif ini bukan hanya dimaknai sebagai prosesi lahiriah, tetapi sebagai ruang spiritual di mana keluarga dan masyarakat menyatukan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Tindakan menurunkan anak ke tanah diartikan sebagai bentuk penyerahan diri kepada kehendak Ilahi, serta pengakuan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali padanya.

Dalam kerangka irfani, ritual doa, jamuan kepada tetangga, dan ekspresi sukacita kolektif dipahami sebagai manifestasi dari cinta Ilahi (mahabbah), ukhuwah sosial, dan spiritualitas lokal. Nilai-nilai seperti kasih sayang, kebersamaan, serta kedekatan dengan Tuhan hadir bukan dalam bentuk argumen logis, tetapi dalam pengalaman rohani yang otentik dan menyentuh batin. Pendekatan ini menjembatani ruang spiritual masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang bersifat inklusif, lembut, dan menyatu dengan alam pikir masyarakat.

Jika ketiga pendekatan ini ditempatkan dalam satu dialektika, maka akan terbentuk pemahaman yang holistik. Pendekatan bayani membawa sikap kehati-hatian terhadap inovasi budaya, burhani mengedepankan pembacaan rasional terhadap praktik sosial, sementara irfani memperkuat dimensi spiritual dan rasa. Ketiganya bisa berjalan berdampingan dalam satu kerangka integratif yang menghargai pluralitas pengetahuan Islam sekaligus memperkuat kearifan lokal.

Namun demikian, ketegangan epistemologis tetap berpotensi muncul, terutama ketika pendekatan bayani yang cenderung literal berhadapan dengan fleksibilitas burhani dan kedalaman irfani. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan ruang dialog yang sehat antar pendekatan agar budaya seperti toron tana tidak diposisikan secara kaku antara boleh dan tidak boleh tetapi diletakkan dalam proses refleksi dinamis yang mempertimbangkan konteks budaya dan nilai-nilai Islam secara proporsional.

Oleh karena itu, memaknai toron tana tidak cukup dilakukan melalui satu pendekatan tunggal. Diperlukan keberanian intelektual dan keterbukaan hati dalam melihat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini adalah cermin dari keinginan masyarakat untuk hidup selaras dengan nilai-nilai Islam, alam, dan kemanusiaan.

Dengan pendekatan yang integratif, budaya seperti toron tana bukan hanya menjadi kenangan atau romantisme masa lalu, melainkan juga warisan bermakna dalam membentuk identitas keislaman dan kebudayaan yang inklusif, berakar, dan relevan sepanjang zaman.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Tradisi toron tana bebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan oleh masyarakat khususnya suku Madura. Dengan adanya artikel ini, generasi yang akan datang bukan hanya mendengar tentang tradisi tersebut tetapi bisa menggali informasi melalui artikel ini