Hukum adat merupakan hukum asli Indonesia yang bersifat tidak tertulis dan tumbuh dari kesadaran serta budaya masyarakat. Ia sering dipengaruhi oleh unsur agama dan berkembang melalui praktik kehidupan sehari-hari secara turun-temurun.
Hukum ini lahir dari interaksi sosial yang berlangsung terus-menerus dalam masyarakat dan membentuk sistem nilai yang akhirnya diakui serta dipatuhi sebagai norma hukum yang berlaku. Dari sekadar kebiasaan, adat berkembang menjadi aturan yang memiliki kekuatan mengikat dalam komunitas tertentu.
Proses terbentuknya hukum adat dimulai dari hubungan timbal balik antara individu, yang kemudian membentuk interaksi sosial berulang. Jika interaksi tersebut berlangsung secara sistematis dan berkelanjutan, maka akan menjadi sistem sosial yang utuh.
Kebiasaan yang melekat dalam sistem sosial tersebut berkembang menjadi adat. Dalam jangka panjang, adat ini menjelma menjadi hukum yang diyakini dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Inilah yang dikenal sebagai hukum adat.
Menurut Iman Sudiyat, hukum adat yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak hanya merupakan warisan masa lalu, namun juga modal utama pembentukan hukum nasional. Meski pernah dipandang sebagai hukum yang primitif dan tidak rasional, nyatanya hukum adat memiliki karakteristik yang justru lebih adaptif dibandingkan dengan sistem hukum Barat.
Ia bersifat konkret, empiris, fleksibel, serta mampu bertransformasi sesuai dengan tantangan zaman. Hukum adat tidak kaku, melainkan mampu menyegarkan diri dan merespons perubahan sosial dengan cara yang unik.
Dalam komunitas masyarakat hukum adat, keberagaman budaya dan nilai kearifan lokal dijaga secara ketat. Mereka tidak hanya memiliki sistem norma dan hukum, tetapi juga memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam secara bijak dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Sayangnya, eksistensi masyarakat hukum adat kini berada dalam tekanan karena modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi yang terus menggerus akar tradisi dan kebiasaan mereka.
Modernisasi tidak selalu berarti ancaman. Banyak komunitas adat yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri. Mereka terbuka terhadap perubahan, namun tetap memfilter nilai-nilai asing agar tidak merusak identitas budaya yang telah mereka jaga selama ratusan tahun. Meski demikian, tantangan yang mereka hadapi tidak sedikit.
Salah satu tantangan utama adalah perubahan sosial yang menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat adat. Urbanisasi dan migrasi membuat komunitas adat harus beradaptasi dengan norma modern, yang kadang justru melemahkan praktik adat yang sudah mapan. Pergeseran ini bisa mengurangi kekuatan hukum adat dalam mengatur kehidupan sosial mereka.
Kemajuan teknologi juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi membuka akses informasi dan bisa memperkuat eksistensi budaya adat melalui dokumentasi dan promosi digital. Namun di sisi lain, ia juga mengubah pola hidup dan sistem nilai masyarakat adat. Perubahan ini dapat mengganggu praktik-praktik adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Selanjutnya, globalisasi membawa arus pertukaran budaya dan informasi lintas negara secara masif. Dominasi budaya global sering kali melemahkan posisi budaya lokal, termasuk hukum adat. Ketika nilai-nilai asing dianggap lebih modern dan praktis, keberadaan hukum adat bisa terpinggirkan, bahkan dilupakan.
Konflik antara hukum adat dan hukum formal negara juga menjadi persoalan pelik. Tidak jarang hukum formal mengabaikan keberadaan hukum adat dan tidak memberikan ruang yang setara bagi masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional.
Akibatnya, masyarakat adat menghadapi diskriminasi, ketidakadilan, bahkan penghilangan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka sendiri.
Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah tidak hanya bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat hukum adat, tetapi juga wajib mengintegrasikan nilai-nilai hukum adat dalam sistem hukum nasional. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya.
Pemerintah harus menciptakan landasan hukum yang kuat agar masyarakat adat dapat menjalankan praktik-praktik mereka tanpa rasa takut akan diskriminasi. Fasilitasi dialog antara komunitas adat dan pihak luar, termasuk investor atau perusahaan, harus diupayakan demi menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian nilai lokal.
Selain itu, pemerintah juga berperan dalam pendidikan dan penyuluhan mengenai pentingnya hukum adat dan kearifan lokal. Melalui kurikulum pendidikan yang inklusif dan berbasis budaya, generasi muda dapat dibekali dengan kesadaran budaya sejak dini.
Pelatihan bagi guru serta pengembangan materi ajar yang menggali kearifan lokal dapat memperkuat pemahaman bahwa hukum adat adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.
Dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat adat juga harus menjadi prioritas. Pemerintah bisa memberikan bantuan hukum, program ekonomi berbasis budaya lokal, serta akses kepada layanan publik tanpa diskriminasi. Semua ini penting untuk menjaga eksistensi masyarakat hukum adat sebagai penjaga kearifan lokal yang autentik dan penuh nilai.
Menjaga hukum adat berarti menjaga jati diri bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, masyarakat hukum adat tetap menjadi penjaga nilai, etika, dan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Pemerintah, sebagai pemegang otoritas tertinggi, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa hukum adat tetap hidup dan berkembang, bukan justru tergilas oleh zaman.
Kita tidak boleh membiarkan hukum adat menjadi bagian dari sejarah yang hanya dikenang. Ia harus menjadi realitas yang terus tumbuh bersama perkembangan bangsa, tanpa kehilangan akar budayanya. Dengan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan yang nyata, hukum adat akan tetap eksis sebagai penjaga kearifan lokal dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.





