Bahasa adalah elemen yang terus berkembang seiring waktu, terlebih di era digital yang semakin maju. Salah satu bentuk evolusi bahasa yang cukup menarik adalah kemunculan bahasa slang. Bahasa ini tidak hanya digunakan di media sosial, tetapi juga sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, khususnya di kalangan generasi muda atau generasi Z.
Penggunaan bahasa slang mencerminkan perbedaan budaya antar generasi sekaligus menjadi cara untuk menciptakan kedekatan sosial. Namun, muncul pertanyaan: apakah penggunaan bahasa slang akan memberikan dampak positif atau justru sebaliknya bagi perkembangan Bahasa Indonesia?
Bahasa slang adalah bentuk bahasa tidak formal yang digunakan untuk mempersingkat pesan, menciptakan istilah baru, atau memperkuat identitas kelompok tertentu, terutama di kalangan generasi muda.
Bahasa ini sering disebut juga bahasa gaul, yang biasanya berupa gabungan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Sebagai contoh, istilah “FOMO” yang merupakan singkatan dari Fear of Missing Out digunakan untuk menggambarkan rasa takut ketinggalan sesuatu, seperti dalam kalimat “Teman-temanku pada beli coklat Dubai, FOMO deh pengen nyobain juga.”
Ada pula istilah “gaje,” singkatan dari “gak jelas,” serta “gabut” yang berarti bosan atau tidak ada pekerjaan, yang sering dipakai dalam kalimat seperti “Gabut nih, main yuk.” Selain itu, banyak istilah slang lain yang populer seperti “kuy,” “NT,” “ghosting,” “salty,” “slay,” dan “nolep.”
Baca Juga: Revolusi Digital: Ancaman atau Peluang bagi Pendidikan Generasi Z?
Karakteristik dinamis membuat slang terus berubah mengikuti tren. Istilah yang saat ini populer bisa kehilangan makna atau tergantikan oleh istilah baru seiring waktu. Kemunculan bahasa slang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Media sosial menjadi salah satu penyebab utama.
Platform seperti X, TikTok, dan Instagram menyediakan ruang bagi pengguna untuk berinteraksi dengan cara yang santai dan kreatif. Di sini, slang sering kali lahir dari meme, video viral, atau interaksi spontan yang dengan cepat menyebar di kalangan pengguna.
Selain itu, musik dan film juga turut andil dalam memperkenalkan istilah baru. Lirik lagu atau dialog karakter dalam film dapat memperkenalkan bahasa yang kemudian diadopsi dalam percakapan sehari-hari.
Pengaruh budaya populer ini membuat bahasa slang memiliki daya tarik yang kuat, terutama di kalangan muda. Di sisi lain, keinginan untuk menyederhanakan pesan juga menjadi alasan mengapa slang banyak digunakan. Dengan menyederhanakan kata-kata, komunikasi terasa lebih cepat, praktis, dan menarik, terutama di tengah pola hidup modern yang serba cepat.
Dampak dari penggunaan bahasa slang sangat beragam, baik positif maupun negatif. Dampak positifnya, bahasa slang mencerminkan kreativitas generasi muda dalam menciptakan istilah baru yang relevan dengan kondisi zaman.
Baca Juga: Kritik terhadap Kasus Gizi Buruk dan Stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT)
Selain itu, slang juga menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi, media sosial, dan budaya populer. Bahasa ini menjadi simbol evolusi budaya yang memperkaya cara berkomunikasi.
Namun, dampak negatif tidak dapat diabaikan. Penggunaan slang yang berlebihan berpotensi membuat generasi muda kurang akrab dengan bahasa Indonesia yang baku atau formal. Akibatnya, kesulitan bisa muncul saat mereka harus berkomunikasi dalam situasi resmi, seperti dalam pendidikan atau pekerjaan. Selain itu, sifat slang yang dinamis dan bermakna ganda dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi.
Bahasa slang sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai ancaman bagi bahasa baku. Selama digunakan secara bijak, slang bisa menjadi pelengkap yang memperkaya ekspresi dalam komunikasi sehari-hari. Yang terpenting adalah menjaga keseimbangan antara penggunaan bahasa slang dan bahasa formal agar kemampuan berbahasa tetap terasah di berbagai situasi.