Fenomena merantau sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama saat seseorang melepas status putih abu-abu dan memasuki dunia perkuliahan sebagai mahasiswa baru. Bagi banyak calon mahasiswa, merantau bukan hanya soal mengejar kampus impian.
Ada tujuan diam-diam yang tak kalah penting: memperluas lingkar pertemanan dengan orang-orang dari latar yang lebih beragam dibandingkan lingkungan di kampung halaman. Mereka sadar, teman bisa berubah menjadi relasi yang membuka banyak pintu.
Dwi (2019) menyebut, relasi mampu mempermudah seseorang mencapai tujuan, mendapat bantuan, melancarkan aktivitas kampus, hingga memahami karakter orang lain. Lebih dari itu, hubungan yang kuat bisa jadi modal besar untuk karier masa depan. Tak heran, banyak mahasiswa melihat merantau sebagai “jalan pintas” membangun relasi.
Namun, mahasiswa baru yang masih labil dan kadang terlalu polos sering memandang semua teman baru sebagai relasi penting, tanpa mempertimbangkan risiko yang mungkin muncul. Cara pandang ini kemudian mengarahkan mereka pada tindakan-tindakan impulsif.
Misalnya, setiap kali ada ajakan hangout, mereka otomatis menjawab “ayo!” tanpa pikir panjang. Dalam benak mereka, semakin banyak ajakan berarti semakin cepat relasi terbentuk. Rumusnya sederhana: setuju ajakan = relasi berhamburan.
Memang, interaksi yang sering bisa memperkuat hubungan. Pertanyaannya, bagaimana kalau ajakan hangout itu isinya selalu nongkrong di kafe mahal dan berburu barang branded? Apakah mereka tetap memaksakan diri?
Jawabannya: tentu saja. Sebab menolak ajakan terasa seperti membuka pintu menuju pengucilan. Mereka takut tak dianggap, takut dilupakan. Sayangnya, ketakutan itu justru menandakan logika yang tidak sehat. Di sinilah gejala “penyakit” Fear of Missing Out alias FOMO mulai muncul.
Sesuai namanya, FOMO adalah fenomena yang identik dengan rasa takut tertinggal momen. Pada 2005, Justinas di Urban Dictionary mendefinisikannya sebagai salah satu bentuk ketakutan. Setahun kemudian, Beaqon memperluas definisinya sebagai rasa takut kehilangan sesuatu yang penting jika kita melewatkan sebuah kejadian.
Sementara itu, Przybylski dkk. (2013) melihat FOMO sebagai kondisi ketika seseorang merasa cemas melihat orang lain menikmati pengalaman berharga yang tidak mereka alami. Singkatnya, FOMO adalah ketakutan melewatkan kesempatan emas dan rasa takut tidak merasakan kesenangan yang dimiliki orang lain.
Mahasiswa baru perantauan sering merasakan tekanan lebih besar dalam menjalin pertemanan. Mengiyakan ajakan hangout dipandang sebagai peluang emas untuk membuka bab pertama cerita pertemanan di kota baru. Meski ajakannya tidak selalu positif, mereka menganggap kesempatan semacam ini tidak datang dua kali.
Atmosfer pertemanan orang lain juga ikut memicu kecemasan. Melihat teman SMA sudah terlihat kompak dengan kelompok kuliahnya masing-masing membuat maba rantau merasa tertinggal. Padahal perkuliahan baru berjalan beberapa bulan.
Rasa takut tidak bisa membangun hubungan serupa membuat mereka berlomba-lomba berkata “iya” pada setiap ajakan. Soal dompet menipis? Nomor sekian yang penting dianggap “teman”.
Kedua realitas tadi menunjukkan bahwa FOMO pada mahasiswa rantau banyak dipicu oleh tiga hal: keinginan untuk diterima, rasa cemburu sosial, dan pola pikir serbainstan.
1. Penerimaan Sosial
Maba rantau yang takut menjalani hidup kampus sendirian akan melakukan apa pun untuk diterima dalam kelompok. Hurlock (1980) menyebut, adaptasi efektif terjadi ketika seseorang bisa bersikap sesuai harapan kelompoknya. Tak peduli kondisi finansial, selama mereka bisa memenuhi standar kelompok baru itu, mereka merasa aman terhindar dari pengucilan dan akhirnya “diakui.” Dari sinilah akar FOMO tumbuh.
2. Kecemburuan Sosial
Selain kebutuhan diterima, FOMO juga berkaitan erat dengan envy atau rasa cemburu. Faturochman (2005) menyebut tiga aspek envy: minder, perbandingan sosial, dan keinginan memiliki apa yang dimiliki orang lain.
Maba rantau yang merasa asing di lingkungan baru sering memandang dirinya “lebih kecil” dibanding mahasiswa lain yang sudah terlihat gaul dan punya banyak koneksi. Perbandingan itulah yang melahirkan rasa iri dan dorongan untuk mendapatkan relasi serupa. Caranya? Mengikuti kebiasaan kelompok termasuk gaya hidupnya. Memaksa dompet bekerja keras demi menghilangkan rasa minder dianggap wajar.
3. Kepraktisan Hidup
Generasi muda sangat dekat dengan pola pikir “ga mau ribet.” Transformasi digital membuat banyak hal terasa instan dan pola pikir itu merembes ke cara mereka mencari teman. Menurut Rahutami, generasi muda lebih fokus pada hasil daripada proses.
Bagi maba rantau, hasil yang diinginkan adalah punya teman sebanyak mungkin dalam waktu cepat. Maka, rute tercepat adalah mengiyakan ajakan hangout: satu kegiatan, banyak kenalan. Kepraktisan ini juga mereka gunakan untuk berbaur.
Cara cepat menghapus status “orang baru” adalah mengikuti arus kelompok, termasuk ikutan foya-foya. Mereka takut kalau terlalu lama menjalin pertemanan, mereka akan terlambat masuk lingkaran. Di sinilah mentalitas FOMO menguat.
Saldo bisa di-top up. Tapi kalau kesempatan membangun relasi terlewat, apa bisa di-replay? Tentu tidak. FOMO hadir sebagai jawaban instan atas ketakutan itu.
Kita hidup di era baru dengan mindset baru. FOMO bukan lagi sekadar tren; ia seakan berubah menjadi identitas generasi muda. Tak sedikit yang menganggap FOMO sebagai hal lumrah bahkan “wajib” dalam situasi tertentu.
Namun, pernahkah terpikir bahwa sikap terlalu permisif terhadap FOMO justru menutupi sisi gelapnya? Sadarkah maba rantau bahwa FOMO bisa menyeret mereka pada gaya hidup hedonis yang menguras kantong dan menumpulkan nalar?
Tidak ada yang melarang FOMO. Tidak ada yang bilang FOMO selalu buruk. Tetapi, letakkan FOMO pada tempatnya. “Tuhankan” FOMO hanya ketika ia membantu membangun relasi berkualitas, bukan ketika ia mendorong kita masuk ke lingkaran pertemanan yang dangkal dan menyesatkan.
Sebab, relasi sebentang kabupaten tanpa integritas ibarat smartphone mahal tanpa kuota—ZONK.
REFERENSI
- Afiah, N. & Nengsi, F. (2022). Analisis Relasi Pertemanan melalui Perilaku Asertif pada Mahasiswa IAIN Parepare. Indonesian Journal of Islamic Counseling, 4(2), 81-90.https://doi.org/10.35905/ijic.v2i1.3439
- Febriyanti, R., Taibe, P., & Hazairin Zubair, A. G. (2023). Envy Sebagai Mediator pada Peran Social Comparison terhadap Quarterlife Crisis pada Mahasiswa di Kota Makassar. Jurnal Psikologi Karakter, 3(1), 28–35. https://doi.org/10.56326/jpk.v3i1.2000
- Qausarina, Z. (2024). Hubungan Antara Interaksi Teman Sebaya dengan Penyesuaian Sosial pada Mahasiswa Perantau Angkatan 2023 Asal Sumatera Utara yang Kuliah di Banda Aceh (Skripsi, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh). Repository Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/38321/
- Reagle, J. (2015). Following the Joneses: FOMO and conspicuous sociality. First Monday, 20(10). https://doi.org/10.5210/fm.v20i10.6064
- Suwarno, D. et al. (2018). Perzpective-Social and Technological Outlooks on Life “Sebuah Asa Generasi untuk Generasi”. Repositori Universitas Katolik Soegijapranata. http://repository.unika.ac.id/17593/1/Perzpektif- 20Social%20and%20Technological%20Outlooks%20on%20Life.pdf





