“Kerja santai, cuan setiap hari.”
Kalimat itu kini akrab di telinga, berseliweran di media sosial, menghiasi iklan bisnis online dan investasi digital.
Dari skema trading tanpa ilmu hingga MLM digital yang menjanjikan penghasilan puluhan juta rupiah per bulan, semua mengusung satu iming-iming serupa: cepat kaya tanpa kerja keras. Ironisnya, justru generasi muda yang paling banyak tergoda dan terjebak di dalamnya.
Fenomena ini bukan sekadar soal keinginan cepat mendapat uang, melainkan cermin dari pola pikir baru yang cenderung serba instan mudah menyerah, kurang sabar, dan enggan berproses. Banyak anak muda kini lebih percaya pada “jalan pintas menuju sukses” ketimbang pada proses panjang yang sesungguhnya membentuk karakter.
Iklan-iklan bombastis di dunia maya menjual mimpi: hasil besar tanpa usaha, kekayaan tanpa risiko. Padahal, di balik janji manis itu, banyak yang berujung pada penipuan, kerugian besar, bahkan kebangkrutan.
Fenomena ini menggambarkan wajah baru generasi digital yang haus pengakuan, namun alergi terhadap kegagalan. Mereka ingin menjadi seperti influencer sukses yang dipuja jutaan pengikut, tetapi tidak mengetahui kisah jatuh bangun di balik layar.
Berdasarkan berbagai survei, lebih dari 60 persen anak muda pernah mencoba bisnis online cepat kaya, dan sekitar 70 persen di antaranya berhenti karena rugi atau tertipu. Kerugian finansial hanyalah permukaan; yang lebih mengkhawatirkan adalah hilangnya daya juang dan etika berusaha.
Media sosial memperparah situasi. Algoritma membuat kesuksesan palsu tampak nyata. Seseorang yang baru untung sekali langsung disebut “pengusaha sukses”, padahal baru seminggu memulai.
Akibatnya, banyak anak muda salah kaprah: mereka mengira sukses bisa diraih hanya dengan niat dan motivasi, tanpa keterampilan dan proses panjang. Fenomena ini menumbuhkan krisis mentalitas bisnis ketidakmampuan untuk bertahan menghadapi kegagalan.
Lebih jauh lagi, muncul efek psikologis bernama Fear of Missing Out (FOMO). Ketika melihat teman viral karena bisnis yang tampak berhasil, anak muda lain merasa tertinggal dan tergesa-gesa ikut, tanpa riset memadai.
Padahal, keberhasilan sejati tidak pernah lahir dari kecepatan, melainkan dari ketekunan. Lihatlah Gojek, Tokopedia, atau usaha kecil yang bertahan bertahun-tahun—semuanya tumbuh karena kesabaran dan konsistensi, bukan karena sensasi sesaat.
Mengubah pola pikir instan bukan hal mudah, tapi bukan pula mustahil. Pendidikan karakter dan literasi ekonomi sejak dini harus menjadi pondasi. Sekolah dan kampus perlu menanamkan nilai bahwa bisnis bukan soal keberuntungan, melainkan hasil kerja keras, riset, dan komitmen.
Pemerintah juga mesti memperketat pengawasan terhadap promosi bisnis digital yang menyesatkan, agar generasi muda tidak terus menjadi korban. Figur publik pun perlu mengambil peran positif dengan menampilkan proses di balik keberhasilan, bukan sekadar hasil akhirnya.
Generasi muda adalah masa depan bangsa. Namun, masa depan itu bisa rapuh bila mereka terus memuja kecepatan tanpa menghargai perjalanan. Di era yang serba cepat, justru ketekunanlah yang menjadi revolusi sejati.
Sebab, kaya dengan cepat mungkin membuat seseorang viral, tetapi kaya melalui proses membuatnya bertahan. Pada akhirnya, rezeki yang berkah tidak lahir dari tipu daya, melainkan dari kerja keras dan kejujuran.