Kita semua mengenal satu-dua orang yang gemar menyelipkan istilah asing dalam setiap percakapan. Untuk urusan sederhana seperti mengatur waktu bertemu, ia berkata, “Ngopi next week aja ya, biar vibe-nya lebih santai,” padahal hanya ingin janjian di warung dekat kampus. Fenomena ini bukan hal baru.
Sebagian orang, terutama yang merasa akrab dengan dunia profesional atau pendidikan tinggi, terbiasa mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Awalnya mungkin sekadar mengikuti lingkungan. Namun, lama-kelamaan berubah menjadi gaya hidup bahkan sumber kebanggaan.
Yang patut dicermati, kebiasaan itu kerap lahir bukan dari kebutuhan komunikasi, melainkan dari gengsi. Seakan semakin sering seseorang mengucapkan istilah asing, semakin tinggi pula status intelektual atau sosialnya. Padahal sebagian besar istilah tersebut memiliki padanan bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dipahami.
Pertanyaannya, benarkah seseorang terlihat lebih profesional ketika berkata schedule alih-alih “jadwal”? Apakah ucapan “Kita break dulu ya rapatnya, kita salat dulu” betul-betul lebih modern dibanding “Kita istirahat dulu ya”? Banyak dari ekspresi itu sebenarnya hanya membungkus hal yang biasa agar terasa eksklusif.
Tentu penggunaan bahasa asing bukan perkara salah. Dalam ranah akademik, teknologi, dan komunikasi lintas negara, bahasa asing sering kali tak terhindarkan. Namun, ketika istilah asing dipakai secara berlebihan dalam percakapan sehari-hari, persoalannya berubah menjadi sikap dan keberpihakan terhadap bahasa nasional. Gaya seperti ini cepat dianggap wajar, sehingga menyebar ke banyak kalangan, termasuk generasi muda yang kemudian menirunya tanpa refleksi.
Kekayaan Bahasa Indonesia: Lebih dari Sekadar Formalitas
Bahasa Indonesia memiliki kekayaan diksi yang luas dan ekspresif. Kita sering lupa bahwa bahasa ini bukan bahasa yang “miskin”. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bahkan menerbitkan padanan istilah asing secara berkala mulai dari gawai untuk gadget, unduh untuk download, hingga pranala untuk link.
Upaya ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mampu menyesuaikan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri. Namun, banyak padanan itu justru diabaikan, terutama oleh mereka yang merasa lebih “global” jika menggunakan kata asli bahasa Inggris.
Penggunaan istilah asing yang berlebihan akhirnya membuat komunikasi menjadi tidak inklusif. Alih-alih memperjelas pesan, bahasa campuran justru memperumit dan mengasingkan. Lebih dari itu, ia menumbuhkan rasa minder terhadap bahasa sendiri sebuah krisis identitas yang kian halus tapi nyata.
Bahasa adalah cermin kebudayaan. Ketika seseorang terlalu bangga memakai bahasa asing untuk hal-hal yang sesungguhnya dapat diungkapkan dengan bahasa ibu, mungkin persoalannya bukan kemampuan, melainkan kebutuhan untuk terlihat berbeda meskipun harus mengorbankan keaslian. Di titik inilah, sikap kritis perlu dibangun. Pengingat sederhana seperti, “Kenapa tidak pakai bahasa Indonesia saja? Kan lebih jelas,” bisa menjadi titik awal perubahan.
Menjaga Bahasa, Menjaga Jati Diri
Di tengah arus globalisasi, penguasaan bahasa asing tetap penting. Namun, keterbukaan pada dunia tidak boleh membuat kita tercerabut dari akar budaya sendiri. Identitas yang kuat justru terbangun ketika seseorang bisa berpijak pada bahasa dan nilai lokal sambil berinteraksi secara global.
Karena itu, merawat bahasa Indonesia adalah tanggung jawab kolektif. Ia seharusnya hadir bukan hanya dalam acara resmi, melainkan juga dalam percakapan harian, rapat profesional, forum akademik, hingga konten digital. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik bukan sekadar bentuk pelestarian budaya, tetapi juga penguatan posisi bahasa nasional sebagai perekat bangsa.
Bahasa, pada akhirnya, adalah pilihan sadar. Ia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin cara berpikir, penanda keberpihakan, dan instrumen perjuangan kultural. Bila kita lebih percaya pada bahasa asing untuk mengekspresikan pikiran, barangkali kita tengah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri sebagai bangsa. Jangan menunggu sampai bahasa ibu hanya tersisa dalam buku pelajaran dan upacara sekolah. Hidupkan dalam tutur kita sehari-hari, sebab dari situlah jati diri bangsa dirawat dan diteruskan





