Hutan Indonesia di Persimpangan 2025: Statistik, Kenyataan, dan Harapan

Ketika laporan lebih hijau daripada hutan itu sendiri. (GG)
Ketika laporan lebih hijau daripada hutan itu sendiri. (GG)

Data resmi pertengahan 2025 menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki sekitar 95,5 juta hektare lahan berhutan setara 51,1 persen daratan nasional. Namun angka ini tidak dapat dibaca sebagai jaminan keberlanjutan.

Luasan tersebut menyembunyikan fakta bahwa kualitas tutupan hutan sangat beragam, dari hutan primer yang masih relatif utuh hingga kawasan yang terdegradasi dan rapuh.

Bacaan Lainnya

Pada tahun yang sama, deforestasi netto kehilangan hutan bersih setelah dikurangi reforestasi mencapai 175.400 hektare, menandakan tekanan yang tetap tinggi terhadap sistem ekologis kita.

Sejarah memperlihatkan bahwa ancaman ini bukan persoalan baru. Pada periode 1996–2000, Indonesia pernah mencatat laju deforestasi tertinggi di dunia, dengan jutaan hektare hilang setiap tahun. Upaya perlambatan pada era 2010-an sempat memberikan harapan, tetapi data terkini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Mayoritas deforestasi bruto pada 2024 terjadi di hutan sekunder, dan sebagian besar berada dalam kawasan hutan resmi. Artinya, problem tata kelola, perizinan, dan pengawasan masih jauh dari selesai.

Kehilangan hutan tidak dapat direduksi menjadi sekadar berkurangnya jumlah pohon. Hutan adalah ruang hidup bagi keanekaragaman hayati, benteng ekologi yang terbentuk selama ratusan tahun. Ia menopang siklus air, menjaga stabilitas iklim lokal, dan menjadi sumber kehidupan masyarakat adat.

Ketika ribuan hektare hilang akibat kebakaran, alih fungsi, atau eksploitasi industri, kita tidak hanya kehilangan stok kayu; kita kehilangan identitas ekologis dan tanggung jawab moral sebagai pemilik salah satu ekosistem tropis terbesar di dunia.

Pemerintah memang mencatat realisasi rehabilitasi sekitar 217.900 hektare pada tahun sebelumnya. Tetapi reforestasi betapapun penting tidak sepenuhnya mampu menggantikan fungsi hutan alam. Pohon-pohon muda tidak serta-merta menghadirkan kembali kompleksitas habitat, keragaman spesies, atau kapasitas penyimpanan karbon yang dimiliki hutan tua. Deforestasi yang menyasar hutan sekunder, ditambah fragmentasi kawasan, membuat pemulihan menjadi semakin sulit dan memakan waktu panjang.

Implikasinya sangat nyata. Kerusakan hutan memperburuk krisis iklim, meningkatkan risiko kebakaran lahan gambut, merusak tata air, dan mengacaukan pola cuaca. Pada akhirnya, ini bukan hanya soal wilayah yang gundul, tetapi soal udara yang kita hirup, kualitas air yang kita minum, dan keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang.

Di tengah tren global degradasi hutan tropis, Indonesia berada di persimpangan penting. Kita dapat melanjutkan model ekonomi berbasis ekstraksi jangka pendek, atau beralih ke paradigma keberlanjutan jangka panjang.

Pilihan kedua membutuhkan komitmen politik yang kuat: reformasi tata ruang, evaluasi menyeluruh izin konsesi, transparansi data, serta peningkatan peran masyarakat adat sebagai penjaga lanskap ekologis. Rehabilitasi kawasan harus dilakukan secara serius, bukan sekadar memenuhi target administratif.

Kerangka regulasi juga memerlukan koreksi mendalam. Sistem perizinan yang longgar, pemberian konsesi di kawasan gambut dan hutan sekunder, serta lemahnya penegakan hukum menjadikan hutan mudah diperdagangkan.

Untuk menghentikan tren kerusakan, negara harus menunjukkan keberpihakan yang jelas: pengawasan ketat, sanksi tegas, dan kebijakan yang menempatkan hutan sebagai aset ekologis, bukan sekadar komoditas.

Menjelang 2030, hanya skenario pembangunan yang menempatkan restitusi ekologis sebagai prioritas yang mampu membuka jalan menuju masa depan yang layak huni. Restorasi bukan sekadar perhitungan angka penanaman pohon, tetapi landasan etis dalam pembangunan: menghormati batas ekologis, keragaman hayati, serta hak hidup manusia dan nonmanusia.

Sebab hutan bukan hanya peta di atas kertas. Ia adalah denyut kehidupan bangsa ini. Jika kita gagal menjaga hari ini, generasi mendatang mungkin hanya akan mewarisi peta tanpa warna hijau sebuah negeri yang kehilangan paru-parunya, dan pada akhirnya kehilangan sebagian dari kemanusiaannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *