Ketika Seni Menjadi Pelipur Lara di Tengah Dunia yang Bising

ilustrasi foto. (weebly)
ilustrasi foto. (weebly)

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi, kita menyaksikan perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi dengan dunia. Segalanya dituntut serba cepat, efisien, dan produktif. Namun, di balik gemerlap kemajuan itu, ada sesuatu yang perlahan-lahan memudar: seni dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya.

Seni sejatinya adalah cerminan jiwa manusia. Ia tidak hanya menggambarkan keindahan, tetapi juga menghadirkan penderitaan, keresahan, harapan, serta identitas. Di balik setiap lukisan, tarian, puisi, atau bahkan coretan di tembok kota, tersembunyi kisah-kisah personal dan kolektif yang membentuk kita sebagai manusia.

Bacaan Lainnya

Dalam hal ini, humaniora hadir sebagai bidang ilmu yang menelaah kedalaman makna-makna itu, mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar makhluk ekonomi atau teknologi, melainkan makhluk yang mencari makna.

Sayangnya, dalam dinamika kehidupan saat ini, nilai-nilai humaniora semakin terpinggirkan. Seni kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak produktif, tidak menghasilkan secara ekonomi, atau sekadar “hobi belaka”.

Pendidikan formal pun lebih menekankan pada ilmu pasti dan keterampilan kerja, mengabaikan pembelajaran tentang rasa, empati, dan imajinasi. Dalam kehidupan sosial, ekspresi seni makin dibatasi pada bentuk yang mudah dikonsumsi—konten viral, estetika instan, atau hiburan yang dikemas semata untuk kepentingan komersialisasi.

Padahal, seni bukan sekadar hiburan. Ia adalah alat berpikir, sarana merasakan, dan jembatan penghubung antar manusia. Ketika seni hadir dalam keseharian, ia mengajarkan empati, mendorong perenungan, dan menumbuhkan apresiasi terhadap hal-hal kecil yang sering kali luput dari perhatian. Nilai-nilai seperti ini kini terasa semakin langka dalam masyarakat yang serba tergesa dan kaku.

Seni juga memainkan peran penting dalam menjaga identitas budaya. Tarian tradisional, misalnya, tidak hanya menyuguhkan gerakan indah, tetapi juga memuat nilai-nilai adat dan filosofi hidup. Musik daerah membawa semangat kolektif yang menyatukan generasi.

Dalam karya sastra, kita menemukan kritik sosial, jejak emosional sejarah, hingga renungan yang melintasi zaman. Ketika seni diabaikan, kita perlahan kehilangan akar budaya dan jati diri sebagai bangsa.

Lebih jauh lagi, seni memiliki daya penyembuhan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seni—dalam bentuk apapun—berperan penting dalam membantu manusia mengatasi trauma, kecemasan, dan kehilangan.

Dalam konteks ini, seni bukan hanya ekspresi, melainkan juga terapi. Sebuah lukisan bisa menjadi pelarian bagi jiwa yang terluka. Sebuah lagu bisa menjadi pengingat bahwa kita tidak sendiri. Di dunia yang penuh tekanan, seni menjadi ruang bernapas yang menenangkan bagi mereka yang lelah.

Ironisnya, di tengah pencarian manusia akan makna, ruang bagi hal-hal yang bermakna justru semakin sempit. Ruang publik lebih banyak diisi iklan ketimbang mural. Kurikulum pendidikan lebih banyak diisi rumus dibandingkan puisi. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, kita akan menghadapi masa di mana manusia hidup serba efisien, namun kosong—produktif, tapi kehilangan jiwa.

Karena itu, sudah saatnya kita merebut kembali ruang bagi seni dan humaniora. Pemerintah perlu lebih serius dalam mendukung pelestarian budaya, tidak sekadar menjadikannya sebagai alat promosi pariwisata.

Lembaga pendidikan harus berani menempatkan seni sebagai pilar pembentuk karakter siswa, bukan sekadar pelengkap kegiatan ekstrakurikuler. Dan kita, sebagai individu, perlu membuka diri kembali untuk menikmati keheningan, merenungi puisi, menyaksikan pertunjukan seni, serta mendukung seniman lokal agar terus berkarya.

Sebab, pada akhirnya, seni bukan hanya tentang mencipta. Ia mengingatkan kita siapa kita sebenarnya. Dalam dunia yang terus melaju cepat, seni adalah cara paling manusiawi untuk berhenti sejenak, menghirup napas, dan benar-benar merasa hidup.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *