Masalah gizi buruk dan stunting masih menjadi isu mendesak di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2022, Indonesia menempati peringkat kedua kasus gizi buruk tertinggi di antara 84 negara, dengan prevalensi mencapai 812.564 balita.
Di NTT, angka stunting tercatat lebih dari 40% di beberapa wilayah, menjadikannya salah satu provinsi dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan rendahnya kualitas pemenuhan gizi pada anak-anak selama masa pertumbuhan mereka.
Stunting tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik tetapi juga memengaruhi perkembangan otak, daya tahan tubuh, kemampuan belajar, hingga kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan.
Salah satu penyebab utama tingginya angka gizi buruk dan stunting di NTT adalah kemiskinan yang telah berlangsung lama. Sebagian besar penduduk di provinsi ini bergantung pada sektor pertanian subsisten yang rentan terhadap perubahan iklim dan gagal panen.
Rendahnya pendapatan membatasi akses masyarakat terhadap makanan bergizi seperti protein hewani, sayuran, dan buah-buahan. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dan tingginya angka buta huruf memperparah situasi karena banyak keluarga yang tidak memahami pentingnya pola makan sehat, terutama dalam seribu hari pertama kehidupan anak.
Baca Juga: Menghadapi Ketahanan Pangan yang Rapuh: Menyikapi Krisis Pangan di NTT
Faktor budaya juga memainkan peran penting. Beberapa kepercayaan lokal kurang mendukung pola makan bergizi. Misalnya, ada larangan konsumsi makanan tertentu yang sebenarnya kaya nutrisi. Upaya pemerintah melalui program bantuan pangan dan sosialisasi gizi sering kali tidak berjalan optimal akibat koordinasi yang lemah dan pengawasan lapangan yang kurang memadai. Akibatnya, bantuan sering tidak berkelanjutan atau tidak tepat sasaran.
Selain itu, infrastruktur yang buruk menjadi kendala besar. Sebagian wilayah NTT memiliki kondisi geografis yang sulit dijangkau, dengan minimnya fasilitas kesehatan. Hal ini membuat pelayanan kesehatan seperti imunisasi, pemantauan pertumbuhan anak, dan penyuluhan gizi sulit menjangkau masyarakat pedalaman.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi komprehensif dan berjangka panjang. Pemerintah perlu membangun industri pertanian dan peternakan lokal agar masyarakat memiliki pendapatan lebih baik dan akses pangan bergizi di tingkat rumah tangga meningkat. Pembangunan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan posyandu di daerah terpencil juga harus menjadi prioritas utama.
Baca Juga: Stigma Stereotipikal Masyarakat Terhadap Wibu
Peningkatan kesadaran masyarakat juga penting. Ibu hamil dan menyusui perlu mendapat pelatihan langsung tentang pentingnya gizi dan pola asuh yang baik. Selain itu, pendidikan tentang pentingnya makanan bergizi sebaiknya dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Kampanye publik secara masif juga diperlukan untuk mengubah perilaku masyarakat terkait pola makan sehat.
Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga swadaya masyarakat harus diperkuat untuk memperluas jangkauan program gizi dan mempercepat penurunan angka stunting. Dengan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan, masalah stunting dan gizi buruk dapat diatasi. Masa depan NTT yang lebih baik dapat diwujudkan melalui perbaikan kualitas hidup generasi sekarang dan mendatang.