Larangan Pernikahan Sesuku dalam Masyarakat Minangkabau: Antara Hukum Adat dan Tantangan Modernitas

ilustrasi foto/tokopedia
ilustrasi foto/tokopedia

Pernikahan merupakan fondasi penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Melalui pernikahan, terbentuklah keluarga sebagai unit terkecil dalam tatanan sosial, tempat nilai budaya, norma, dan identitas diwariskan dari generasi ke generasi.

Lebih dari sekadar ikatan antara dua individu, pernikahan juga mempererat hubungan antar keluarga dan kelompok masyarakat. Dalam banyak budaya, termasuk dalam budaya Minangkabau, pernikahan memiliki makna yang sangat dalam karena terkait erat dengan sistem adat dan struktur sosial.

Bacaan Lainnya

Di tengah kekayaan adat Minangkabau, terdapat satu aturan adat yang masih terus dipertahankan hingga kini, yaitu larangan pernikahan sesuku. Larangan ini tidak hanya merupakan kebiasaan, tetapi bagian dari hukum adat yang mengikat seluruh masyarakat Minangkabau.

Hukum ini lahir dari sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu. Dalam sistem ini, orang-orang dari suku yang sama dianggap berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga mereka dipandang sebagai saudara sedarah.

Karena itu, pernikahan sesuku dianggap tabu dan melanggar norma kesusilaan dalam adat Minangkabau. Larangan ini tidak bersifat simbolik semata. Masyarakat yang melanggar aturan ini dapat menerima sanksi sosial yang berat, seperti pengucilan, pemutusan hubungan adat, atau bahkan pengusiran dari komunitas. Oleh sebab itu, setiap keluarga biasanya melakukan pengecekan suku secara cermat sebelum melangsungkan pernikahan untuk mencegah terjadinya pelanggaran ini.

Tujuan utama dari larangan ini adalah untuk menjaga kemurnian garis keturunan, mencegah konflik internal dalam suku, serta memperkuat jaringan sosial antar suku. Dengan memperluas hubungan melalui pernikahan antar suku, masyarakat Minangkabau menciptakan struktur sosial yang lebih inklusif dan harmonis.

Namun demikian, dalam era modern yang ditandai dengan globalisasi, mobilitas tinggi, dan nilai-nilai individualisme, larangan pernikahan sesuku mulai mendapat tantangan, khususnya dari kalangan muda.

Generasi muda Minangkabau yang hidup di perkotaan atau bahkan luar negeri, sering kali mempertanyakan relevansi larangan ini. Mereka menganggap bahwa hubungan dalam satu suku tidak selalu berakar pada hubungan biologis langsung, sehingga tidak semestinya menjadi penghalang cinta dan pernikahan.

Tantangan adat di tengah modernitas bukanlah hal baru, tetapi semakin mencolok saat nilai-nilai tradisional bertemu dengan pemikiran baru yang mengedepankan kebebasan dan hak individu. Banyak anak muda Minang beranggapan bahwa larangan ini terlalu kaku dan tidak lagi sesuai dengan zaman. Ada pula yang merasa bahwa cinta dan pernikahan adalah urusan pribadi yang tidak seharusnya diintervensi oleh aturan adat yang sudah tidak kontekstual.

Namun perlu diingat, hukum adat Minangkabau bukan hanya soal aturan, melainkan bagian dari sistem nilai yang menjaga harmoni dan keteraturan dalam masyarakat matrilineal. Dalam sistem ini, nilai-nilai kebersamaan, keterikatan kekerabatan, dan tanggung jawab kolektif sangat dijunjung tinggi. Oleh karena itu, larangan pernikahan sesuku menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga keseimbangan tersebut.

Pepatah adat Minangkabau mengatakan, “Samo suku bak adiak jo kakak, bak anak jo induak” yang berarti orang satu suku dipandang seperti kakak-adik atau ibu-anak. Dalam pandangan adat, ini cukup untuk menetapkan batasan yang tidak bisa dilanggar. Maka dari itu, walaupun tidak ada hubungan darah secara biologis, kedekatan kultural dan spiritual antar sesuku dianggap cukup kuat untuk menolak hubungan pernikahan.

Jika aturan ini dilanggar, konsekuensinya bukan hanya pada individu, tapi juga bisa mencoreng nama baik keluarga dan suku. Lembaga adat seperti niniak mamak, penghulu suku, dan tokoh masyarakat mengambil peran aktif dalam menengahi dan menyelesaikan pelanggaran adat ini. Fungsi mereka bukan hanya sebagai penegak aturan, tetapi juga sebagai pelindung nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun temurun.

Dari sudut pandang hukum nasional Indonesia, larangan ini tidak diatur secara eksplisit. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian diperbarui menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, menyatakan bahwa sahnya pernikahan ditentukan oleh hukum agama masing-masing dan pencatatan resmi. Dalam konteks ini, negara tidak melarang pernikahan sesuku selama tidak bertentangan dengan hukum agama dan memenuhi syarat administratif.

Namun demikian, hukum adat tetap diakui dalam konstitusi Indonesia. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.” Dengan dasar ini, larangan pernikahan sesuku di Minangkabau sah secara sosial dan kultural meskipun tidak secara hukum negara.

Inilah yang menunjukkan kekhasan pluralisme hukum di Indonesia, di mana hukum negara, hukum agama, dan hukum adat saling berdampingan dan saling mempengaruhi. Dalam sistem seperti ini, masyarakat harus pandai-pandai menyeimbangkan nilai adat dengan dinamika perubahan zaman. Pelestarian adat tidak harus menjadi penghalang bagi hak individu, selama ada ruang untuk dialog dan pemahaman bersama.

Maka, tantangan terbesar bagi lembaga adat Minangkabau hari ini adalah bagaimana mereka mampu menyampaikan pesan adat kepada generasi muda dengan cara yang relevan dan komunikatif. Tidak cukup hanya dengan melarang, tapi juga perlu ada edukasi mengenai makna filosofis di balik larangan tersebut. Dengan pendekatan yang inklusif dan dialogis, nilai-nilai adat bisa tetap dijaga tanpa terkesan mengekang kebebasan pribadi.

Menjaga adat bukan berarti menolak perubahan. Justru adat yang hidup adalah adat yang mampu berdialog dengan zaman. Larangan pernikahan sesuku di Minangkabau adalah cermin dari bagaimana sebuah masyarakat adat berusaha menjaga identitas dan harmoni sosial. Namun hal itu akan lebih kuat jika disertai pemahaman dan keterbukaan terhadap perubahan yang tak terelakkan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *