Melampaui Batas Gender: Refleksi Peran Ganda dalam Film 1 Kakak 7 Ponakan

Poster Film 1 Kakak 7 Ponakan (int)
Poster Film 1 Kakak 7 Ponakan (int)

Film 1 Kakak 7 Ponakan bukan hanya menyentuh sisi emosional melalui kisah keluarga yang mengharukan, tetapi juga menyajikan refleksi mendalam terhadap isu gender yang masih kerap terabaikan dalam dunia perfilman Indonesia.

Melalui tokoh utama Moko, yang diperankan dengan sangat baik oleh Chicco Kurniawan, penonton diajak menyelami dinamika peran domestik yang selama ini dianggap sebagai ranah perempuan. Keputusan Moko untuk menjadi wali tunggal bagi lima keponakan dan dua kakaknya menjadi gambaran nyata pembalikan peran gender yang kuat namun tetap terasa wajar dan alami.

Bacaan Lainnya

Dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai patriarkal, pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak hampir selalu dikaitkan dengan tanggung jawab perempuan. Namun, film ini dengan cermat membalikkan persepsi tersebut.

Moko menjalankan fungsi ganda sebagai “ayah sekaligus ibu”—ia memasak, mengantar anak-anak ke sekolah, mendampingi emosi mereka, serta mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga tanpa kehadiran pasangan. Semua ini dijalani dengan penuh tanggung jawab, menghadirkan pesan kuat tentang perlunya kesetaraan gender dalam ranah domestik.

Menariknya, Moko tidak digambarkan sebagai sosok yang sempurna. Ia adalah pribadi yang sesekali merasa lelah, marah, bahkan nyaris menyerah. Namun di balik ketidaksempurnaan itu, tersimpan kekuatan pesan bahwa menjadi orang tua—dalam konteks apa pun—adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Ketulusan dan kegigihannya justru membuat karakter Moko terasa sangat manusiawi dan bisa diterima secara emosional oleh penonton dari berbagai latar belakang.

Dengan menempatkan beban ganda pada sosok laki-laki, film ini dengan cerdas mengangkat isu yang selama ini lebih sering dibicarakan dalam konteks perempuan. Beban fisik dan mental yang dialami Moko menjadi gambaran universal bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tugas kompleks yang tidak semestinya dibatasi oleh jenis kelamin. Film ini seolah berkata: pekerjaan domestik bukan hanya soal siapa, tetapi soal siapa yang mampu dan bersedia.

Karakter-karakter pendukung seperti Osa dan Eka semakin memperkaya narasi film ini. Eka, digambarkan sebagai suami dominan yang enggan terlibat dalam pengasuhan anak, mencerminkan realitas banyak keluarga Indonesia.

Sementara itu, Osa—perempuan yang kehilangan ruang untuk berkembang karena peran domestiknya—menjadi simbol keterbatasan yang masih dihadapi perempuan. Kontras dengan Moko yang menantang norma tersebut, film ini menyiratkan bahwa perubahan bisa dimulai dari siapa saja, termasuk laki-laki.

Sutradara Yandy Laurens mengeksekusi film ini dengan pendekatan visual yang hangat dan sinematografi yang intim. Dialog-dialog dalam film disusun dengan bahasa yang lugas dan jujur, membuat pesan sosial yang disampaikan terasa menyentuh dan relevan tanpa terkesan menggurui. Di balik kekacauan rumah tangga yang penuh warna dan cinta, terselip kritik halus namun tajam terhadap struktur gender yang kaku dan tidak setara.

Film 1 Kakak 7 Ponakan bukan semata-mata tontonan drama keluarga. Ia menjadi ruang kontemplatif untuk memikirkan kembali batas-batas peran gender yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam sosok Moko, kita melihat refleksi dari pria baru Indonesia—pribadi yang lembut, penuh empati, dan cukup berani untuk mengambil tanggung jawab yang selama ini bukan dianggap “kodratnya”.

Karya ini bukan hanya menyentuh perasaan, tetapi juga menggugah kesadaran sosial dan membuka wacana baru tentang pembagian peran yang lebih adil dan rasional. 1 Kakak 7 Ponakan adalah ajakan untuk melihat kembali struktur keluarga dan tanggung jawab di dalamnya, bukan sebagai beban berdasarkan jenis kelamin, tetapi sebagai bentuk kolaborasi kemanusiaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *