Menelisik Overtourism di Candi Borobudur: Antara Keuntungan dan Tantangan

Candi Borobudur. (doc. penulis)
Candi Borobudur. (doc. penulis))

Candi Borobudur, ikon kebanggaan Indonesia yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, merupakan salah satu peninggalan sejarah terbesar Wangsa Syailendra. Candi ini tidak hanya menjadi bukti kejayaan masa lalu dengan arsitektur yang megah dan estetika yang luar biasa, tetapi juga simbol spiritual dalam ajaran Buddha.

Dalam pandangan agama Buddha, Borobudur dianggap sebagai replika gunung Mahameru, tempat para dewa bersemayam, sekaligus menjadi tempat suci untuk perayaan keagamaan, seperti Hari Raya Waisak.

Bacaan Lainnya

Sebagai destinasi wisata unggulan, Candi Borobudur menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya. Pada Hari Raya Waisak, kemeriahan semakin terasa dengan penyelenggaraan festival lampion yang menjadi daya tarik utama.

Selain itu, beragam acara besar seperti konser musik dan pameran seni sering digelar di kawasan ini, menjadikan Borobudur tidak hanya tempat wisata sejarah tetapi juga pusat aktivitas budaya. Pada tahun 2019, jumlah kunjungan wisatawan domestik tercatat mencapai 3,7 juta orang, sementara wisatawan mancanegara mencapai lebih dari 240 ribu. Angka ini menggambarkan popularitas luar biasa, meskipun juga memunculkan berbagai tantangan, terutama terkait fenomena overtourism.

Dampak Overtourism: Positif dan Negatif

Lonjakan jumlah wisatawan di Candi Borobudur memiliki dua sisi mata uang, yakni dampak positif dan negatif. Dari sudut pandang pengunjung, kepadatan yang berlebihan sering kali mengurangi kenyamanan. Mereka harus berdesakan, antre panjang, dan kesulitan menikmati keindahan candi dengan leluasa. Bahkan, aktivitas seperti mengambil foto pun menjadi tantangan tersendiri. Bagi warga lokal, kemacetan dan kebisingan yang terjadi selama musim ramai sering kali mengganggu rutinitas harian mereka.

Secara ekologis, overtourism juga membawa dampak buruk bagi kelestarian Candi Borobudur. Menurut Balai Konservasi Borobudur, batuan candi mengalami penipisan hingga 1,8 cm setelah menerima 50 juta pengunjung. Kerusakan ini terutama terlihat di area yang sering diinjak oleh pengunjung. Jika tidak ditangani dengan serius, kondisi ini dapat mengancam keberlangsungan situs bersejarah ini.

Namun, ada pula dampak positif dari tingginya kunjungan wisatawan. Para pedagang lokal, penyewa jasa transportasi seperti dokar, hingga penyedia jasa fotografi di kawasan candi mendapatkan penghasilan tambahan. Banyak dari mereka yang merupakan penduduk asli, sehingga keberadaan wisatawan secara tidak langsung membantu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Kontroversi Kebijakan Baru

Pemerintah Indonesia mencoba mengatasi permasalahan overtourism dengan menerapkan sejumlah kebijakan baru pada tahun 2022. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah kenaikan harga tiket masuk ke area stupa candi menjadi Rp 750.000 untuk wisatawan domestik. Sebelumnya, harga tiket masuk berkisar antara Rp 30.000 hingga Rp 50.000. Kebijakan ini memicu kontroversi di kalangan masyarakat karena dianggap tidak adil dan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Baca Juga: Sejarah dan Kelezatan Mochi: Kue Beras Khas Jepang yang Mendunia

Namun, setelah banyak kritik, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga tiket masuk ke area pelataran candi. Sebaliknya, wisatawan yang ingin masuk ke area stupa harus membayar tambahan Rp 70.000, sehingga totalnya menjadi Rp 120.000.

Selain itu, pemesanan tiket kini harus dilakukan sehari sebelumnya, dan kuota harian diberlakukan untuk membatasi jumlah pengunjung yang masuk ke area stupa. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi dampak kerusakan pada batuan candi.

Candi Borobudur. (doc. penulis)
Candi Borobudur. (doc. penulis)

Inovasi lain yang diterapkan adalah penggunaan alas kaki khusus bagi pengunjung yang ingin masuk ke area stupa. Alas kaki ini dirancang untuk mengurangi gesekan dan melindungi batuan candi dari kotoran. Selain itu, setiap pengunjung diwajibkan menggunakan jasa pemandu wisata. Langkah ini bertujuan untuk memastikan perilaku pengunjung sesuai aturan sekaligus memberikan edukasi sejarah yang lebih mendalam tentang Candi Borobudur.

Pendekatan untuk Solusi

Meski kebijakan baru bertujuan melestarikan candi, tidak sedikit wisatawan yang mengeluhkan perubahan ini. Pendekatan partisipatif, seperti melibatkan masyarakat dan pengunjung dalam proses perencanaan kebijakan, mungkin dapat menjadi solusi. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan metode choice experiment, di mana pengunjung dapat memilih kebijakan yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.

Belajar dari situs warisan dunia lainnya, seperti Angkor Wat di Kamboja dan Machu Picchu di Peru, pengelola Candi Borobudur dapat mengambil inspirasi dari kebijakan yang telah berhasil diterapkan di tempat-tempat tersebut. Misalnya, pembatasan jumlah pengunjung harian dan penerapan sistem reservasi online dapat menjadi langkah efektif untuk mengelola keramaian.

Dengan melibatkan akademisi, pelaku bisnis, masyarakat, dan pemerintah, kebijakan baru yang lebih inklusif dapat dirancang. Hal ini tidak hanya membantu melestarikan situs bersejarah ini, tetapi juga meningkatkan pengalaman wisatawan tanpa mengorbankan kenyamanan maupun kelestarian candi.

Baca Juga: Pembelajaran Agama dengan Pendekatan Siswa Meminimalkan Etika Buruk di Lingkungan Sekolah

Fenomena overtourism di Candi Borobudur adalah tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensi. Meskipun banyak dampak negatif yang muncul, seperti penurunan kualitas pengalaman wisata dan ancaman terhadap kelestarian candi, terdapat pula sisi positif berupa peningkatan ekonomi lokal.

Kebijakan baru yang diterapkan pemerintah, meski kontroversial, menunjukkan upaya serius untuk melestarikan warisan budaya ini. Dengan melibatkan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan, diharapkan keseimbangan antara kelestarian candi dan kenyamanan wisatawan dapat tercapai.

Penulisan artikel ini merupakan bagian dari Program Vulnerability to Viability dalam kegiatan Student Go International – World Class University Universitas Diponegoro di Malaysia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dra. Indah Susilowati, M.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Nugroho SBM, M.Si., dan Prof. Drs. Waridin, M.S., Ph.D., atas arahan dan dukungannya selama proses penulisan artikel ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *