Kabar tentang rencana pembubaran Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) mengundang tanda tanya besar. Di tengah upaya panjang menagih dana rakyat yang digelontorkan lebih dari dua dekade lalu, pemerintah justru ingin menutup babak penyelesaiannya.
Alasan yang dikemukakan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, sederhana: Satgas dianggap tidak memberikan hasil berarti dan justru menimbulkan kegaduhan.
Di satu sisi, argumen efisiensi birokrasi memang menggiurkan. Negara tentu tidak boleh berlama-lama mengurus lembaga yang dinilai tidak produktif. Namun, pembubaran Satgas BLBI bukan sekadar soal efisiensi.
Ini menyangkut integritas negara dalam menegakkan hukum dan menjaga akuntabilitas atas dana publik. Menghapus lembaga yang sedang menagih utang negara sama saja dengan mematikan mesin pencari keadilan di tengah jalan.

Purbaya menilai persoalan BLBI sudah terlalu usang. “Krisisnya sudah lewat 25 tahun, mari kita maju ke depan,” ujarnya via Zoom saat mengisi Media Gathering Kemenkeu 2025 di Novotel Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025). Pernyataan ini memang terdengar rasional di permukaan, tetapi berbahaya bila dijadikan dasar kebijakan.
Sebab, utang kepada negara tidak mengenal kedaluwarsa moral. Selama masih tercatat dalam laporan keuangan negara, penagihannya tetap menjadi tanggung jawab hukum dan politik pemerintah.
Pandangan kontras datang dari Mahfud MD, mantan Ketua Satgas BLBI. Ia menegaskan, utang BLBI yang mencapai Rp141 triliun masih tercatat dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bila proses penagihan dihentikan tanpa mekanisme pengganti, negara berisiko kehilangan hak tagihnya sekaligus menciptakan ketimpangan hukum.
“Ada yang sudah ditagih dan dilelang asetnya, tapi ada pula yang dibiarkan,” ujarnya. Ketidakadilan seperti ini akan menimbulkan luka baru dalam sistem hukum kita—tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Persoalan BLBI memang rumit. Ia bukan hanya persoalan angka, tetapi cerminan wajah hukum Indonesia yang kerap lentur di hadapan kekuasaan. Di titik inilah, negara diuji: apakah hukum masih menjadi panglima, atau sekadar alat untuk menutup masa lalu yang tidak nyaman. Bila pemerintah menganggap penyelesaian BLBI hanya menimbulkan “noise”, sesungguhnya yang perlu dibenahi bukan kasusnya, melainkan cara negara bekerja.
Sejak dibentuk pada era Presiden Joko Widodo, Satgas BLBI sejatinya berfungsi untuk menagih kembali dana talangan pascakrisis 1998. Meski jalannya tidak selalu mulus, keberadaan Sat jalannya tidak selalu mulus, keberadaan Satgas menunjukkan keseriusan negara dalam menjaga tanggung jawab moral terhadap uang rakyat. Maka ketika pemerintah tiba-tiba ingin menutupnya, publik berhak curiga: apakah keputusan ini murni soal efisiensi, atau ada kepentingan yang tidak terlihat?
Pemerintah seharusnya berhati-hati. Meniadakan Satgas tanpa menggantinya dengan mekanisme baru sama saja dengan mencabut rem dalam sistem keuangan negara. Utang yang belum tertagih akan menguap, pelaku besar mungkin bebas, dan publik kehilangan kepercayaan.
Dalam konteks keadilan distributif John Rawls, kebijakan yang adil seharusnya memberi manfaat bagi mereka yang paling dirugikan. Pembubaran Satgas justru berpotensi menguntungkan pihak yang selama ini diuntungkan oleh ketimpangan hukum.
Alih-alih dibubarkan, Satgas BLBI semestinya diperkuat dengan tata kelola yang lebih terbuka. Proses penagihan dan penyitaan aset bisa diaudit secara publik agar masyarakat tahu ke mana arah penyelesaiannya. Negara tidak boleh lelah menagih kebenaran, sebab uang yang dikucurkan dua puluh tahun lalu bukan milik masa lalu, melainkan hak generasi kini dan nanti.
BLBI adalah cermin dari perjalanan panjang hukum ekonomi Indonesia. Bila pemerintah memilih untuk “melupakan”, maka yang terlupakan bukan sekadar kasus, tetapi juga prinsip keadilan itu sendiri. Kita memang harus melangkah ke depan, tetapi tidak dengan menutup mata terhadap jejak yang belum dibersihkan. Sebab bangsa yang menutup luka tanpa mengobatinya hanya sedang menyiapkan infeksi baru di tubuh hukumnya sendiri.





