Kapolres Rokan Hulu AKBP Budi Setiyono mengungkapkan bahwa aksi pencurian sawit terjadi pada Senin (6/1/2025) di Desa Kota Intan, Kunto Darussalam. “Pencurian sawit terjadi sekitar pukul 01.00 WIB. Sawit milik saudara GN (28),” katanya, Rabu (8/1/2025).
Tiga pelaku yang tertangkap dalam kejadian tersebut adalah Radinal, Wahyu Sapridin, dan Samsul, yang merupakan warga Kota Intan. Mereka diarak keliling kampung oleh warga setelah kepergok mencuri dan dijatuhi sanksi adat.
Dalam hukum adat setempat, terdapat tiga bentuk sanksi yang dapat dipilih oleh pelaku, yaitu membayar denda, diarak keliling kampung, atau dilaporkan ke kepolisian. Dalam kasus ini, pelaku memilih diarak, sehingga Kapolsek berkoordinasi dengan tokoh adat guna mengawasi dan mengamankan situasi agar tidak terjadi aksi main hakim sendiri.
Hukum Adat dalam Perspektif Konstitusi
Kasus pencurian sawit yang dikenai sanksi sosial ini mencerminkan amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 18B ayat (2), yang menyatakan bahwa negara menghormati dan mengakui hukum adat serta hak-hak masyarakat hukum adat. Dengan demikian, penerapan sanksi adat dalam kasus ini sejalan dengan ketentuan konstitusional, selama tetap dalam koridor hak asasi manusia.
Teori Living Law
Dalam Teori Living Law yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, hukum yang berlaku dalam masyarakat bukan hanya hukum tertulis yang dibuat oleh negara, tetapi juga norma-norma yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat. Hukum yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat lahir dari kebiasaan, tradisi, dan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas lokal.
Di Indonesia, teori ini banyak dikaitkan dengan hukum adat, yang tetap eksis dan diakui dalam sistem hukum nasional. Sanksi diarak keliling kampung merupakan salah satu bentuk hukuman dalam hukum adat yang masih dijalankan sebagai upaya memberi efek jera kepada pelaku pelanggaran. Walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), keberadaannya tetap diakui karena memiliki legitimasi kuat dalam masyarakat.
Teori Pluralisme Hukum
John Griffiths dalam Teori Pluralisme Hukum menjelaskan bahwa dalam satu masyarakat dapat berlaku lebih dari satu sistem hukum. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama memiliki berbagai sistem hukum yang hidup berdampingan. Dalam konteks kasus ini, hukum negara dan hukum adat berinteraksi secara langsung.
Pelaku pencurian sawit diberikan pilihan antara sanksi adat atau proses hukum pidana. Jika mereka memilih jalur hukum negara, maka kasusnya akan diproses sesuai dengan ketentuan KUHP. Namun, dengan memilih sanksi adat, mereka menjalani hukuman diarak keliling kampung. Meskipun berada di luar sistem hukum negara, sanksi adat tetap diakui selama tidak melanggar hak asasi manusia dan mendapatkan pengawasan dari pihak berwenang.
Sanksi Sosial dalam Hukum Adat
Hukum adat lebih menekankan pada pemulihan keseimbangan sosial dibandingkan dengan sekadar penghukuman. Sanksi sosial seperti diarak keliling kampung bertujuan untuk mendidik pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya dan memberikan efek jera bagi masyarakat agar tidak melakukan hal serupa.
Selain itu, sanksi sosial juga berfungsi sebagai hukuman moral, di mana rasa malu yang timbul dapat menjadi pelajaran berharga bagi pelaku. Dalam beberapa kasus, pelaku juga diwajibkan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat atau korban yang dirugikan.
Penerapan sanksi sosial ini tidak hanya berdampak pada individu pelaku, tetapi juga menjadi pengingat bagi masyarakat agar tetap menaati norma sosial dan adat yang berlaku. Selain diarak, bentuk sanksi sosial lainnya bisa berupa teguran, pandangan negatif, pengucilan, atau pengusiran dari komunitas. Setiap masyarakat adat memiliki aturan yang berbeda, disesuaikan dengan nilai dan budaya setempat.
Kasus pencurian sawit di Rokan Hulu menunjukkan bagaimana hukum adat masih memiliki peran penting dalam menyelesaikan permasalahan sosial di masyarakat. Penerapan sanksi adat seperti diarak keliling kampung merupakan bentuk hukum yang hidup dalam masyarakat dan tetap diakui dalam sistem hukum nasional. Namun, perlu dipastikan bahwa pelaksanaannya tetap dalam koridor hak asasi manusia dan diawasi oleh pihak berwenang untuk mencegah tindakan anarkis.
Dengan adanya pluralisme hukum, masyarakat memiliki alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur hukum negara. Selama hukum adat dapat menjaga keseimbangan sosial dan memberikan keadilan bagi masyarakat, keberadaannya akan tetap relevan dan dihormati dalam sistem hukum Indonesia.