Organisasi Islam yang Tak Lagi Islami

Ilustrasi. (Pinterest)
Ilustrasi. (Pinterest)

Islam bukan sekadar identitas keagamaan, melainkan sebuah sistem ajaran yang utuh dan menyeluruh. Ia merupakan panduan hidup yang bersumber dari dua landasan utama: Al-Qur’an dan Hadis. Dalam dua sumber inilah tersimpan nilai-nilai yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual maupun sosial.

Salah satu ajaran utama yang sangat ditekankan adalah dakwah, yakni mengajak dan menyeru kepada kebaikan. Dakwah bukan hanya aktivitas seremonial atau formalitas keagamaan, tetapi manifestasi dari tanggung jawab moral seorang Muslim.

Bacaan Lainnya

Pada hakikatnya, dakwah adalah cerminan dari keislaman itu sendiri. Ia menjadi medium untuk menyampaikan nilai-nilai Islam dengan cara yang bijak, menyentuh, dan berkelanjutan. Dalam praktiknya, dakwah hadir dalam berbagai bentuk: melalui pesantren, lembaga pendidikan, organisasi sosial, hingga ranah politik.

Apa pun medianya, semangat yang diusung seharusnya tetap sama: menyampaikan kebenaran, mengajak kepada kebajikan, dan memperbaiki kondisi masyarakat.

Organisasi menjadi salah satu sarana strategis dalam pelaksanaan dakwah. Dalam organisasi terkandung berbagai gagasan, tanggung jawab, serta peran kolektif yang mengharuskan keberadaannya berdampak bagi lingkungan sekitar.

Terlebih lagi, organisasi Islam yang berideologi keislaman memiliki tanggung jawab ganda: sebagai agen perubahan sosial dan sebagai representasi ajaran agama.

Sayangnya, realitas saat ini memperlihatkan bahwa tidak semua organisasi Islam mampu mencerminkan nilai-nilai yang mereka bawa. Banyak di antaranya yang justru menjadikan label “Islam” hanya sebagai pelengkap identitas, tanpa benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam kegiatan dan perilakunya. Kegiatan mereka dibungkus dengan simbol-simbol Islam, tetapi isi dan semangatnya jauh dari nilai dakwah yang seharusnya menjadi roh dari setiap aktivitas organisasi keislaman.

Sebagai contoh, beberapa organisasi mahasiswa Islam yang seharusnya menjadi pionir perubahan sosial justru terjebak dalam praktik-praktik yang tidak mencerminkan nilai keislaman. Politik kampus, persaingan jabatan, dan dominasi kekuasaan menjadi fenomena yang lumrah di lingkungan organisasi tersebut.

Orientasi keorganisasian beralih dari semangat dakwah menuju ambisi kekuasaan. Ironisnya, kondisi ini terjadi justru dalam organisasi yang mengklaim dirinya sebagai pewaris semangat perjuangan para pendiri.

Organisasi semestinya menjadi ladang dakwah—ajang menebar kebaikan, memperluas wawasan keilmuan, dan membentuk karakter yang Islami. Sejarah pembentukan organisasi Islam lahir dari pemikiran mendalam dan diskusi serius para intelektual Muslim.

Maka, sangat disayangkan ketika generasi penerusnya justru mencederai nilai-nilai tersebut atas nama kelanjutan perjuangan. Padahal, setiap anggota organisasi Islam seharusnya menjadi teladan dalam moralitas, keteladanan sikap, serta integritas.

Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa yang awalnya tertarik bergabung dengan organisasi Islam akhirnya mengurungkan niat. Mereka melihat kenyataan bahwa praktik yang berlangsung dalam organisasi tidak sesuai dengan ajaran yang diusung.

Diskusi-diskusi keilmuan yang dilakukan sering kali kehilangan ruh spiritualnya. Islam bukan sekadar agama yang mengajak manusia berpikir kritis, tetapi juga agama yang membina hati untuk terus mendekat kepada Allah.

Organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) seharusnya menjadi contoh bagaimana sebuah wadah keislaman membentuk insan yang intelek sekaligus berakhlak.

Intelektualitas dalam Islam tidak semata diukur dari kemampuan berpikir logis atau kemampuan beretorika, tetapi juga dari kedalaman pemahaman agama dan kepekaan terhadap masalah umat.

Sebuah organisasi Islam idealnya membentuk anggotanya menjadi pribadi yang mampu menyampaikan dakwah, tidak hanya lewat lisan, tetapi juga lewat perilaku dan sikap hidup yang membumi.

Penting untuk dicatat, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjelekkan satu organisasi tertentu. Sebaliknya, ini adalah bentuk kegelisahan penulis sebagai bagian dari umat Islam yang mencintai nilai-nilai keislaman dan menginginkan perbaikan.

Organisasi Islam haruslah menjadi refleksi dari ajaran yang mereka emban. Tanpa integritas dan pengamalan nilai yang konsisten, organisasi keislaman akan kehilangan kepercayaan publik.

Peradaban Islam tidak dibangun semata oleh kekuatan gagasan, tetapi oleh keteladanan implementasi nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Syariat Islam bukan hanya sistem hukum atau tatanan ibadah, melainkan juga jembatan menuju masyarakat yang berkeadaban dan adaptif terhadap perubahan zaman. Gagasan tanpa tindakan akan kehilangan makna, sebagaimana organisasi tanpa nilai akan kehilangan jati diri.

Salah satu penghambat terbesar dalam berkembangnya organisasi Islam saat ini adalah sikap pragmatisme. Ini adalah sikap yang hanya mengedepankan hasil tanpa memperhatikan proses dan nilai-nilai bersama.

Sikap ini bertentangan dengan semangat dakwah yang mengedepankan keikhlasan, kesabaran, dan ketulusan dalam menjalankan misi kebaikan. Ketika nilai-nilai itu digantikan oleh ambisi pribadi dan kepentingan kelompok, maka keberkahan dakwah pun akan sirna.

Marilah kita kembalikan makna dakwah dan keorganisasian Islam kepada esensinya. Organisasi Islam bukan sekadar alat untuk eksistensi, tetapi harus menjadi sarana perubahan diri dan masyarakat. Kita semua punya tanggung jawab untuk menciptakan ekosistem organisasi yang sehat, mencerahkan, dan berdaya ubah. Seperti yang dikatakan, “Tak perlu kata-kata, yang penting bukti nyata.” Sebuah ungkapan sederhana, namun sarat makna. Dakwah yang paling kuat adalah keteladanan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *