Pelecehan seksual merupakan perilaku yang bersifat seksual, tidak diinginkan, dan berakibat mengganggu atau merugikan penerima perlakuan tersebut. Menurut N.K. Endah Triwijati dari Fakultas Psikologi Universitas Surabaya dan Savy Amira Women’s Crisis Center, pelecehan seksual bukan hanya soal fisik, tetapi mencakup perhatian atau tindakan seksual yang tidak dikehendaki oleh korban.
Salah satu bentuk pelecehan seksual yang paling menyedihkan dan memprihatinkan adalah inses—pelecehan seksual yang terjadi di dalam lingkup keluarga, terutama antara anggota keluarga sedarah. Kasus-kasus ini tidak hanya menyasar anak di bawah umur, tetapi juga melibatkan orang tua sebagai pelaku.
Bentuk pelecehan inses bisa sangat bervariasi, mulai dari ajakan atau rayuan seksual, sentuhan tidak senonoh, menunjukkan alat kelamin, hingga tindakan kekerasan seksual secara langsung. Bahkan, tindakan seperti memaksa masturbasi atau mengambil serta memperlihatkan foto anak dalam kondisi tanpa busana pun termasuk dalam bentuk inses yang sangat merusak.
Pelecehan seksual dalam bentuk inses menjadi persoalan yang kompleks karena kerap terjadi di dalam ruang privat dan tertutup: rumah sendiri. Korban sering kali tidak memiliki kekuatan atau keberanian untuk melawan, apalagi melapor, karena pelaku adalah orang yang mereka kenal dekat—bahkan, yang seharusnya melindungi mereka. Kondisi ini diperparah oleh faktor-faktor seperti ketidakstabilan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, dan nilai-nilai budaya yang menormalisasi ketimpangan relasi kuasa dalam keluarga.
Secara sosial, pelecehan seksual inses sering kali diselimuti oleh rasa malu, takut, dan tekanan untuk “menjaga nama baik keluarga”. Akibatnya, banyak korban memilih diam atau bahkan terpaksa berdamai dengan pelaku demi mempertahankan keberlangsungan hidup. Ancaman kekerasan, pengusiran, atau pencabutan hak ekonomi menjadi alat tekanan yang membuat korban enggan melapor kepada pihak berwenang.
Untuk itu, langkah pencegahan menjadi sangat penting. Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat perlu diperluas dan diperkuat. Pendidikan seksual yang komprehensif sejak dini harus diberikan, baik di lingkungan keluarga maupun di institusi pendidikan.
Anak-anak perlu diajarkan tentang batasan tubuh, jenis sentuhan yang layak dan tidak layak, serta siapa saja yang boleh dan tidak boleh melakukan kontak fisik tertentu. Peran guru dan orang tua menjadi krusial dalam membangun pemahaman ini, dan mereka perlu dibekali dengan pengetahuan serta keterampilan dalam mendeteksi dan merespons tanda-tanda kekerasan seksual.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan. Undang-undang harus benar-benar ditegakkan, dengan pemberian sanksi maksimal kepada pelaku, terutama jika pelaku adalah orang tua, wali, atau pendidik.
Hukuman penjara hingga tujuh tahun sebagaimana tercantum dalam perundang-undangan harus diberlakukan secara nyata dan menyeluruh. Sanksi tambahan dapat berupa pencabutan hak asuh atau jabatan jika pelaku berasal dari kalangan pendidik atau tenaga profesional lain yang berinteraksi langsung dengan anak.
Lebih jauh lagi, dukungan psikologis dan hukum kepada korban harus dijamin negara. Rehabilitasi psikososial, konseling trauma, serta perlindungan saksi dan korban harus menjadi bagian integral dari sistem peradilan yang berpihak pada korban, bukan semata berfokus pada pembuktian tindak pidana. Lembaga layanan masyarakat seperti Women’s Crisis Center atau P2TP2A harus didukung anggaran dan SDM yang memadai agar mampu menjangkau hingga ke pelosok.
Pelecehan seksual inses adalah kejahatan kemanusiaan yang merusak masa depan anak-anak dan tatanan sosial. Negara dan masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi hak anak untuk tumbuh dan berkembang tanpa ancaman kekerasan, terlebih dari keluarga sendiri.