Dari Surau ke Panggung Dunia, Tradisi Dakwah Islami dari Ranah Minang

Opini Hasbi Witir
Opini Hasbi Witir

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, kesenian tradisional tetap memegang peran penting dalam mempertahankan identitas budaya sebuah bangsa. Di Sumatra Barat, salah satu bentuk sastra lisan yang mampu menggabungkan nilai dakwah dan seni adalah Salawat Dulang.

Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan media dakwah yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan diwariskan lintas generasi.

Bacaan Lainnya

Salawat Dulang, atau kerap disebut juga Salawaik Dulang, merupakan bentuk dakwah yang disampaikan melalui lantunan syair Islami dengan iringan ketukan pada dulang—sejenis nampan logam berdiameter sekitar 65 sentimeter.

Kata “salawat” merujuk pada doa untuk Nabi Muhammad SAW, sementara “dulang” adalah alat musik tradisional yang menghasilkan ritme khas saat diketuk. Biasanya dimainkan oleh dua orang yang duduk bersila, tradisi ini tidak hanya memikat secara estetika tetapi juga sarat makna religius.

Pertunjukan Salawat Dulang umumnya digelar dalam rangka memperingati hari besar keagamaan Islam atau pada acara adat (alek nagari). Tempat pertunjukan pun tidak sembarangan—masjid dan surau menjadi ruang sakral penyelenggaraannya.

Usai salat Isya atau Tarawih, masyarakat akan berkumpul untuk menyimak syair-syair penuh makna yang disampaikan para pendulang. Suasana yang tercipta begitu khusyuk, hangat, dan menyentuh hati.

Menurut Meigalia (2009), tradisi Salawat Dulang diperkirakan telah muncul sejak abad ke-17, seiring dengan berkembangnya Islam di Minangkabau melalui para ulama seperti Syekh Barhuddin. Saat itu, syair-syair disampaikan untuk menyampaikan nilai-nilai keislaman dalam bentuk yang mudah diterima masyarakat luas.

Awalnya hanya dimainkan oleh dua orang dalam satu kelompok, pertunjukan ini kemudian berkembang menjadi semacam kompetisi antar-klub. Masing-masing menyampaikan buah kaji—istilah untuk tema atau inti syair—yang mereka kuasai. Dalam perkembangannya, kompetisi ini menjadi uji kemampuan retorika religius, dengan para pendulang saling mengajukan dan menjawab pertanyaan melalui syair.

Tak hanya hidup dalam ruang-ruang lokal, Salawat Dulang juga mendapat tempat di dunia akademik, khususnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Kota yang dijuluki “Serambi Mekkah” ini menjadikan Salawat Dulang sebagai bagian dari kurikulum, penelitian, dan pertunjukan seni resmi kampus.

Salah satu tokoh yang berperan besar dalam menghidupkan kembali minat terhadap Salawat Dulang adalah Firdaus, dosen ISI Padang Panjang yang juga dikenal dengan nama panggung Fir Arjuna. Dalam artikel berjudul “Setelah Puasa Panggung, Akademisi ISI Padang Panjang Kembali Tampil di Luar Negeri” di laman resmi ISI Padang Panjang, disebutkan bahwa Firdaus bersama timnya berhasil membawa Salawat Dulang tampil dalam Festival Musica Sacra di Maastricht, Belanda, pada tahun 2021.

Dalam festival berskala internasional yang mengangkat musik-musik suci dari berbagai belahan dunia ini, Firdaus menyatakan, “Karena Salawat Dulang adalah musik tradisi yang terkait dengan berbagai kegiatan keagamaan, maka turut diapresiasi dalam festival ini.”

Penampilan tersebut menjadi penanda penting bahwa Salawat Dulang telah menembus batas lokal dan diakui sebagai warisan budaya yang memiliki nilai spiritual universal. Keikutsertaan ISI Padang Panjang dalam forum internasional ini bukan hanya ajang pertunjukan, tetapi juga bentuk konkret pelestarian budaya lokal melalui pendidikan dan diplomasi budaya.

Dalam pertunjukan Salawat Dulang, dua orang pendulang duduk saling berhadapan atau berdampingan sambil mengetuk dulang dan melantunkan syair secara bergantian. Syair-syair tersebut biasanya menggunakan bahasa Minangkabau dan Arab, disusun dalam struktur yang khas: katubah (pembukaan), batang (isi utama), yamolai (pengantar atau kritik), cancang (klimaks), dan penutup. Irama dan gaya penyampaian kerap menyesuaikan zaman, menjadikan Salawat Dulang selalu relevan di setiap generasi.

Pada awalnya, Salawat Dulang berfungsi sebagai media dakwah dalam surau dan pengajian malam. Namun, seiring dengan dinamika sosial dan perkembangan zaman, fungsi ini meluas menjadi hiburan dalam pesta pernikahan, khitanan, hingga festival budaya. Selain sebagai medium dakwah, tradisi ini juga mempererat hubungan sosial, membentuk kebersamaan, dan menjadi ruang ekspresi kreatif.

Meski memiliki nilai historis dan spiritual yang tinggi, Salawat Dulang menghadapi tantangan berat di era modern. Regenerasi pelaku seni yang lambat, minimnya dokumentasi pementasan, serta menurunnya minat generasi muda menjadi ancaman nyata. Banyak kelompok pendulang yang kini kekurangan penerus.

Namun, tidak sedikit pihak yang terus berupaya menjaga eksistensinya. Lembaga adat, seniman lokal, pemerintah, hingga institusi akademik seperti ISI Padang Panjang, telah menginisiasi berbagai program pelestarian.

Mulai dari lomba lintas daerah, pertunjukan internasional, hingga digitalisasi pertunjukan melalui platform daring. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mulai mendokumentasikan Salawat Dulang sebagai bagian dari warisan budaya nasional.

Momentum tampilnya Salawat Dulang di panggung internasional menjadi titik balik penting dalam upaya pelestarian. Tradisi ini bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan refleksi nilai-nilai spiritual, identitas budaya, dan ekspresi kolektif masyarakat Minangkabau. Menjaga tradisi ini sama artinya dengan menjaga warisan peradaban.

Salawat Dulang adalah bukti bahwa seni tradisi tidak mati oleh waktu. Ia hidup, tumbuh, dan berkembang seiring zaman, dari surau kecil di pelosok nagari hingga panggung megah di negeri orang.

Tradisi ini menjadi pengingat bahwa Islam, budaya, dan seni bisa berjalan beriringan dalam keindahan dan kebermaknaan. Tugas kita kini adalah melestarikan, mengenalkan, dan merayakan warisan budaya ini agar tetap hidup dalam denyut generasi mendatang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *