Pagelaran wayang kulit merupakan salah satu warisan budaya yang masih lestari di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk hiburan, tetapi juga memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Salah satu desa yang masih dengan setia menjaga tradisi ini adalah Desa Jrakahpayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. Di desa ini, pagelaran wayang kulit menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual sedekah bumi, sebuah bentuk rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas hasil bumi yang melimpah.
Tradisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan tetap menjadi acara yang dinantikan oleh masyarakat. Bagi saya pribadi, pagelaran wayang kulit di Jrakahpayung bukan sekadar tontonan, melainkan merupakan momentum untuk membersihkan jiwa, memperkuat nilai spiritual, serta mempererat hubungan antarsesama warga. Ini adalah ruang bersama yang mempertemukan warga dari berbagai latar belakang dalam suasana yang penuh makna dan kebersamaan.
Rangkaian acara dimulai dengan pembukaan yang dipandu oleh seorang pembawa acara, dilanjutkan dengan sambutan dari Kepala Desa, dan ditutup dengan doa oleh Kyai setempat. Simbol dimulainya pertunjukan ditandai dengan penyerahan wayang oleh Kepala Desa kepada Dalang, yaitu Ki Mangun Yuwono, yang telah lama dikenal karena kepiawaiannya dalam memainkan cerita pewayangan.
Pagelaran ini tidak hanya melibatkan seorang dalang, tetapi juga didukung oleh asisten dalang, lima orang sinden, dan kelompok pemain gamelan. Tim ini berasal dari Pemalang dan sudah berpengalaman dalam menyuguhkan pertunjukan yang memukau. Kehadiran sinden memberikan kekayaan tersendiri pada pertunjukan melalui lantunan tembang Jawa yang menggugah rasa.
Semakin malam, suasana di sekitar lokasi pagelaran semakin meriah. Sekitar pukul 10 malam, warga mulai memadati area pertunjukan. Tidak hanya sebagai penonton, banyak warga yang juga memanfaatkan momen ini untuk berjualan.
Berbagai jenis makanan dan minuman khas, kerajinan tangan bertema wayang, serta mainan anak-anak ditawarkan di sepanjang jalan desa. Tahun ini, deretan pedagang tampak lebih panjang dan ramai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, hiburan seperti istana balon dan kegiatan melukis untuk anak-anak turut memeriahkan suasana, menjadikan pagelaran ini sebagai ajang rekreasi keluarga.
Bagi saya, pagelaran ini adalah penegasan atas identitas budaya yang harus dijaga. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, mempertahankan tradisi seperti wayang kulit menjadi tantangan tersendiri.
Namun, tradisi ini justru membuktikan bahwa masyarakat masih memiliki ruang untuk mengekspresikan nilai-nilai luhur budaya lokal. Pelestarian tradisi seperti ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah atau seniman saja, tetapi juga membutuhkan dukungan dan keterlibatan aktif dari masyarakat.
Saya percaya bahwa peran masyarakat sangat krusial dalam menjaga kesinambungan tradisi ini. Dengan tetap menghadiri pagelaran, mendukung para pelaku seni, serta mengajak generasi muda untuk mengenal dan mencintai budaya leluhur, maka tradisi ini akan tetap hidup.
Selain itu, pagelaran ini juga dapat menjadi media edukasi yang efektif untuk mengenalkan nilai-nilai kehidupan, kebaikan, dan kebajikan yang tersirat dalam lakon wayang.
Melalui wayang kulit, generasi muda bisa belajar tentang filosofi hidup orang Jawa, tentang baik dan buruk, serta pentingnya menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa pagelaran wayang kulit harus terus didukung dan dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai. Warisan ini bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan fondasi nilai yang masih relevan hingga kini.
Dengan tetap merawat tradisi seperti ini, kita tidak hanya menjaga akar budaya, tetapi juga merawat jati diri bangsa di tengah dunia yang terus berubah. Pagelaran wayang kulit di Desa Jrakahpayung adalah bukti bahwa budaya tidak akan mati selama masih ada yang mau menjaga dan merayakannya bersama-sama.