Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh video viral seorang siswa sekolah dasar yang mengamuk dan menantang gurunya di depan kelas. Sang guru hanya mampu merekam kejadian tersebut tanpa mengambil tindakan berarti.
Fenomena serupa juga sering muncul di media sosial: anak-anak yang berbicara lancang kepada guru maupun orang tua. Rangkaian peristiwa ini memunculkan kegelisahan bahwa kita tengah menghadapi krisis moral dan karakter pada generasi muda.
Di sisi lain, banyak orang tua beranggapan bahwa pembentukan karakter adalah sepenuhnya tanggung jawab sekolah, khususnya guru. Namun realitas di lapangan kian rumit. Penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak, misalnya, sering dipersepsikan sebagai “pisau bermata dua” yang membuat guru ragu bertindak tegas.
Kekhawatiran terhadap potensi pelaporan membuat sekolah memilih jalur aman, sehingga perilaku kurang sopan atau tindakan tidak disiplin di lingkungan sekolah sulit ditindak. Situasi ini pada akhirnya memicu saling lempar tanggung jawab antara orang tua dan guru.
Sebelum memperdebatkan siapa yang mestinya paling bertanggung jawab, kita perlu menegaskan kembali apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter dan mengapa ia menjadi fondasi penting bagi masa depan bangsa. Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan nilai moral di ruang kelas, melainkan proses panjang pembentukan kepribadian yang berlangsung sejak dini melalui keteladanan, interaksi, dan pembiasaan di rumah, sekolah, serta lingkungan sosial.
Karakter anak merupakan refleksi dari nilai-nilai yang mereka serap dari tiga lingkungan utama: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam konteks globalisasi dan derasnya arus informasi, fondasi karakter menjadi semakin penting agar anak memiliki kemampuan menyaring nilai, mengendalikan diri, dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab. Tanpa karakter yang kuat, anak-anak mudah terbawa arus, rentan terhadap pengaruh negatif, dan sulit menavigasi tantangan kehidupan modern.
Anak dengan karakter kuat bukan hanya mampu membedakan benar dan salah, tetapi juga memiliki kecakapan sosial dan emosional untuk berinteraksi secara sehat. Mereka lebih siap menghadapi kegagalan, mampu bekerja sama, serta memiliki etos kerja dan empati.
Dalam jangka panjang, karakter yang baik melahirkan generasi pemimpin yang berintegritas, inovatif, dan dapat dipercaya. Karena itu, pendidikan karakter bukan sekadar tambahan, tetapi kebutuhan mendesak.
Pertanyaannya, bagaimana cara praktis menanamkan karakter tersebut? Paling tidak, terdapat beberapa langkah mendasar. Pertama, keteladanan. Anak belajar terutama melalui contoh, bukan ceramah. Sikap orang tua dan guru akan menjadi cermin yang ditiru anak. Konsistensi antara perkataan dan perbuatan adalah bentuk pendidikan paling efektif.
Kedua, penanaman nilai moral. Nilai seperti kejujuran, kedisiplinan, keadilan, dan tanggung jawab perlu diajarkan sejak dini melalui percakapan sehari-hari, penguatan positif, dan pembiasaan yang konsisten.
Ketiga, mendorong kemandirian. Anak perlu diberi ruang mengambil keputusan sesuai usianya. Proses ini melatih mereka mempertimbangkan konsekuensi dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Keempat, mengajarkan empati. Anak perlu dibiasakan memahami perspektif orang lain dan merasakan dampak dari tindakannya terhadap sesama. Empati adalah fondasi penting untuk mencegah perilaku agresif dan membangun relasi yang sehat.
Kelima, melibatkan anak dalam kegiatan sosial atau komunitas. Keterlibatan dalam aktivitas bersama melatih rasa kepedulian, kerja sama, dan tanggung jawab sosial.
Namun, sebaik apa pun metode yang disiapkan, pendidikan karakter tidak akan berjalan apabila setiap pihak bekerja sendiri-sendiri. Tanggung jawab membentuk karakter anak bukan hanya milik guru atau orang tua, melainkan kerja bersama yang melibatkan semua unsur: keluarga sebagai fondasi, sekolah sebagai penguat, dan masyarakat sebagai ruang praktik nilai-nilai tersebut.
Karena itu, penting bagi orang tua dan guru memiliki pemahaman yang sama tentang nilai yang ingin ditanamkan serta pendekatan yang digunakan. Tidak bijak jika orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter kepada sekolah, sementara pola asuh di rumah justru kontradiktif.
Sebaliknya, sekolah juga tidak dapat abai dengan dalih keterbatasan kewenangan. Kolaborasi, komunikasi, dan kesepahaman antara orang tua dan guru menjadi kunci keberhasilan.
Ke depan, kita perlu membangun kesadaran kolektif bahwa pendidikan karakter adalah investasi jangka panjang bagi bangsa. Generasi yang berintegritas dan berakhlak baik tidak mungkin lahir jika masing-masing pihak hanya saling menyalahkan. Tantangan global menuntut anak-anak Indonesia tumbuh sebagai pribadi yang kuat, jujur, dan mampu berdaya saing.
Karena itu, mari menjadikan pendidikan karakter sebagai gerakan bersama. Tugas ini berat, namun niscaya. Masa depan bangsa berada di tangan anak-anak kita hari ini. Membekali mereka dengan karakter kuat bukan hanya kewajiban moral, tetapi tanggung jawab sejarah.





