Pengaruh Kekuasaan Politik dari Masa ke Masa Terhadap Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Perjalanan demokrasi Indonesia bergerak dalam siklus, terus berputar mengikuti arah kekuasaan.
Perjalanan demokrasi Indonesia bergerak dalam siklus, terus berputar mengikuti arah kekuasaan.

Sejak awal kemerdekaan hingga era Reformasi, demokrasi selalu ditempatkan sebagai fondasi utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pendiri bangsa menempatkan demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan sebagai falsafah hidup politik bangsa Indonesia. Demokrasi diyakini sebagai jalan terbaik untuk menjaga keberagaman dan menegakkan prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

Namun, perjalanan demokrasi di Indonesia tidaklah linier. Kekuasaan politik yang berubah dari masa ke masa telah memberi warna tersendiri terhadap praktik demokrasi. Setiap rezim membawa pendekatan berbeda terhadap makna kekuasaan dan cara rakyat berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks historis, hubungan antara kekuasaan dan demokrasi bersifat timbal balik. Ketika kekuasaan terpusat dan otoriter, demokrasi cenderung melemah. Sebaliknya, saat kekuasaan tersebar dan partisipatif, kualitas demokrasi meningkat. Sejarah politik Indonesia adalah kisah tarik-menarik antara otoritas dan kedaulatan rakyat, antara legitimasi kekuasaan dan aspirasi publik.

Pendahuluan

Sejak awal berdirinya negara, demokrasi telah menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, prinsip kedaulatan rakyat dinyatakan sebagai dasar penyelenggaraan negara. Para pendiri bangsa melihat demokrasi sebagai bentuk ideal politik karena menempatkan rakyat sebagai pemilik tertinggi kekuasaan.

Namun dalam praktiknya, perjalanan demokrasi Indonesia selalu diwarnai fluktuasi. Pergantian sistem pemerintahan dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin, lalu ke Orde Baru, hingga Reformasi, menunjukkan bahwa kekuasaan politik selalu menentukan arah perkembangan demokrasi.

Max Weber (1947) menjelaskan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan kehendaknya meskipun mendapat perlawanan. Dalam konteks negara, kekuasaan tidak hanya berarti kemampuan memerintah, tetapi juga legitimasi moral untuk mengatur kehidupan publik. Ketika kekuasaan dijalankan secara proporsional dan akuntabel, demokrasi akan tumbuh sehat. Sebaliknya, ketika kekuasaan terpusat dan represif, demokrasi tereduksi menjadi simbol belaka.

Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif naratif dengan pendekatan studi pustaka. Sumber data mencakup buku teks politik, jurnal ilmiah nasional, peraturan perundang-undangan, serta dokumen sejarah resmi. Analisis dilakukan melalui pendekatan historis-komparatif untuk melihat perbandingan antarperiode kekuasaan dan dampaknya terhadap kondisi demokrasi.

Hasil dan Pembahasan

Masa Orde Lama (1945–1966)

Periode ini terbagi menjadi dua fase: Demokrasi Parlementer (1945–1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959–1966).

Pada masa Demokrasi Parlementer, sistem politik mengadopsi model Barat, dengan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen. Kekuasaan tersebar di berbagai partai politik, memberi ruang partisipasi rakyat yang luas. Namun, fragmentasi partai dan perbedaan ideologi (nasionalis, agamis, dan komunis) menimbulkan instabilitas politik.

Kabinet berganti-ganti hingga tujuh kali dalam sembilan tahun. Demokrasi memang dijalankan, tetapi rapuh karena kekuasaan terlalu terfragmentasi. Demokrasi lebih menjadi arena perebutan kekuasaan antarelite daripada sarana menyalurkan kehendak rakyat.

Memasuki fase Demokrasi Terpimpin, Soekarno memperkenalkan konsep kekuasaan yang terpusat di tangan presiden. Melalui Dekret Presiden 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945, dan kekuasaan eksekutif menjadi dominan. Ideologi gabungan Nasionalis, Agamis, dan Komunis dimaksudkan untuk mempersatukan bangsa, tetapi justru menimbulkan konflik politik.

Demokrasi berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan eksekutif. Perbedaan politik dianggap ancaman terhadap stabilitas nasional. Retorika demokrasi tetap digunakan, tetapi praktiknya menampilkan sistem politik yang hampir totaliter.

Masa Orde Baru (1967–1998)

Soeharto membangun kekuasaan baru dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Demokrasi diubah menjadi formalitas. Pemilu memang ada, tetapi hasilnya sudah dapat ditebak karena dominasi Golkar dan intervensi negara. Media dikontrol ketat, kebebasan berpendapat dibatasi, dan oposisi ditekan.

Menurut Hadiz (2017), Orde Baru mempraktikkan demokrasi semu, di mana kebebasan politik dibungkam demi stabilitas dan pembangunan. Kekuasaan dijalankan secara birokratis, efisien, namun tidak akuntabel.

Pembangunan ekonomi memang maju pesat, tetapi ketimpangan sosial, korupsi, dan hilangnya kebebasan sipil menjadi konsekuensi serius. Demokrasi direduksi menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan.

Masa Reformasi (1998–sekarang

Ke jatuhnya Soeharto menandai perubahan besar dalam paradigma kekuasaan. Kedaulatan kembali ke tangan rakyat. Konstitusi direformasi, kekuasaan didesentralisasi, dan lembaga-lembaga independen seperti KPK, KPU, dan Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pemilu dilakukan secara langsung dan kompetitif. Pers bebas, dan masyarakat sipil tumbuh subur.

Namun, demokrasi pascareformasi juga menghadapi tantangan baru: politik uang, dinasti politik, oligarki ekonomi, serta disinformasi di media sosial. Demokrasi memang lebih partisipatif, tetapi idealisme sering berbenturan dengan pragmatisme politik.

Menurut Jati (2019), era Reformasi membawa demokrasi Indonesia menuju sistem yang lebih transparan dan partisipatif, meski masih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks filosofis, kekuasaan seharusnya menjadi amanah moral yang menuntut etika dan tanggung jawab, bukan sekadar alat meraih jabatan.

Kesimpulan

Dari keempat periode tersebut terlihat jelas: kualitas demokrasi Indonesia sangat bergantung pada distribusi kekuasaan politik. Ketika kekuasaan terpusat, demokrasi melemah; ketika kekuasaan tersebar, demokrasi tumbuh.

Demokrasi di Indonesia bukanlah proses linier, melainkan siklus yang terus mencari keseimbangan antara otoritas dan partisipasi. Tantangan ke depan bukan hanya memperkuat lembaga politik, tetapi juga membangun etika dan moralitas kekuasaan.

Kekuasaan tanpa kendali moral melahirkan tirani, sementara demokrasi tanpa arah nilai melahirkan anarki politik. Karena itu, keseimbangan antara kedaulatan rakyat, tanggung jawab etis, dan pembatasan kekuasaan menjadi fondasi utama bagi keberlanjutan demokrasi Indonesia.

Daftar Pustaka

  • Hiariej, E. S. (2020). Politik Indonesia: Transisi dan Konsolidasi Demokrasi. Yogyakarta:
  • Gadjah Mada University Press.
  • Jati, W. R. (2019). “Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi: Evaluasi dan Tantangan.” Jurnal Politik dan Pemerintahan, 10(2), 145–160.
  • Prasetyo, D. (2022). “Kekuasaan Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia.” Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, 19(1), 25–37.
  • Subekti, A. (2021). “Konsolidasi Demokrasi Indonesia dalam Perspektif PPKN.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 11(3), 204–219.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *