Pandangan bahwa perempuan adalah kaum lemah masih sangat melekat dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya ketimpangan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi, hingga politik.
Perempuan kerap kali tidak mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki, sehingga potensi mereka untuk berkembang dan berkontribusi dalam ruang publik sering kali terabaikan.
Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2023, tercatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 330.000 kasus pada tahun 2024. Kekerasan tersebut umumnya berbasis gender, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis.
Data ini menunjukkan bahwa budaya patriarki masih sangat kuat tertanam di tengah masyarakat. Budaya ini menciptakan konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, tanpa kekuatan dan pengaruh dalam kehidupan publik.
Pandangan seperti itu tentu sangat merugikan. Padahal perempuan memiliki kemampuan dan potensi yang sama dengan laki-laki. Namun, kesempatan yang terbatas serta pandangan diskriminatif membuat perempuan kerap kali dianggap tidak layak untuk tampil dan mengambil peran penting dalam masyarakat.
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara pun kerap dibatasi untuk perempuan, membuat mereka semakin sulit berkembang. Di sisi lain, beban domestik yang melekat pada perempuan mempersempit ruang gerak mereka untuk ambil bagian dalam urusan publik.
Budaya patriarki telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam sistem ini, perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan penting dan selalu bergantung pada laki-laki, baik secara ekonomi, sosial, maupun kultural.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat betapa perempuan dibatasi dalam hal berbicara, berpendapat, dan bertindak. Mereka diharapkan tunduk dan taat, bukan memimpin atau memperjuangkan sesuatu. Akibatnya, ruang bagi perempuan untuk menegaskan jati diri dan memperjuangkan keadilan menjadi sangat sempit.
Namun, pandangan tersebut sesungguhnya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam kitab suci. Dalam Injil Lukas 18:1-8, terdapat kisah tentang seorang janda yang tidak menyerah dalam memperjuangkan haknya. Kisah ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan contoh nyata bahwa perempuan juga bisa menjadi agen perubahan.
Sang janda tidak takut menghadapi seorang hakim yang terkenal tidak adil dan tidak memedulikan siapa pun. Dengan ketekunan dan keteguhannya, ia akhirnya berhasil mendapatkan keadilan yang ia perjuangkan tanpa bantuan dari siapa pun.
Perempuan dalam perumpamaan tersebut digambarkan sebagai sosok yang penuh keberanian dan tidak mudah menyerah. Ia tidak hanya menjadi pahlawan dalam kisahnya sendiri, tetapi juga menjadi simbol kekuatan dan keteguhan hati perempuan di tengah tekanan sosial.
Kisah ini mematahkan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang selalu bergantung pada laki-laki. Sebaliknya, ia membuktikan bahwa perempuan bisa berdiri sendiri dan berjuang untuk haknya.
Contoh serupa juga bisa ditemukan dalam sejarah Indonesia, salah satunya adalah sosok Laksamana Malahayati dari Aceh. Ia merupakan panglima perempuan pertama dalam sejarah Indonesia yang memimpin pasukan Inong Balee, yang terdiri dari para janda pejuang.
Di tengah dominasi militer oleh laki-laki, Malahayati menunjukkan keberanian luar biasa dalam memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Portugis. Ia bahkan berhasil mengalahkan Cornelis de Houtman dalam pertempuran laut. Sosok seperti Malahayati membuktikan bahwa perempuan tidak hanya bisa berada di garis depan, tetapi juga membawa kemenangan dan perubahan besar.
Kisah janda dalam Lukas 18 dan perjuangan Malahayati menggambarkan satu hal penting: perempuan mampu berperan aktif dan memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Mereka bisa bersikap tegas, kritis, dan mengambil keputusan penting yang berdampak luas. Apa yang selama ini dibatasi oleh struktur sosial seharusnya dibuka agar perempuan dapat berkontribusi secara utuh dan setara.
Refleksi dari kisah janda dalam Injil Lukas memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Yesus melalui perumpamaan itu menunjukkan bahwa kekuatan seseorang tidak diukur dari status sosial atau jenis kelamin.
Kekuatan sejati terletak pada semangat juang, integritas, dan keberanian untuk memperjuangkan yang benar. Maka, kita pun seharusnya meninjau ulang sistem sosial yang masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang memberi ruang bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin. Sudah saatnya kita membongkar stigma yang melekat pada perempuan sebagai kaum lemah.
Seluruh elemen masyarakat perlu bekerja sama untuk membangun tatanan sosial yang adil, di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk berpendapat, berkarya, dan memimpin. Perempuan harus diberikan akses pendidikan yang setara, ruang kerja yang inklusif, dan perlindungan hukum yang menjamin keamanan dan martabat mereka.
Jika perempuan diberi kesempatan dan kepercayaan, mereka tidak hanya akan berkembang untuk dirinya sendiri, tetapi juga akan membawa manfaat besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Kisah janda dalam Lukas 18 dan sejarah perjuangan Malahayati adalah pengingat kuat bahwa perempuan bukanlah kaum lemah, melainkan pilar kekuatan yang selama ini tersembunyi di balik ketidaksetaraan sistemik.
Mari kita saling mendukung dan membangun masyarakat yang inklusif. Dunia yang terus berubah membutuhkan kontribusi dari semua pihak, tanpa terkecuali. Perempuan bukan objek yang perlu dikasihani, tetapi subjek yang pantas dihormati dan diberi kesempatan untuk berkembang. Dengan bersama-sama menghapus diskriminasi gender, kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera bagi semua.





