QRIS Syariah: Masa Depan Transaksi atau Tantangan Baru?

Ilustrasi foto/istock
Ilustrasi foto/istock

Dalam beberapa tahun terakhir, metode pembayaran digital menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) semakin mendapatkan perhatian di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah, QRIS Syariah hadir sebagai alternatif pembayaran yang mengikuti prinsip-prinsip Islam. Namun, pertanyaannya adalah, apakah QRIS Syariah benar-benar akan menjadi masa depan transaksi keuangan di Indonesia, atau justru menciptakan tantangan baru yang sulit diatasi?

Dalam proses digitalisasi industri keuangan, QRIS Syariah menawarkan keunggulan utama, yakni sistem transaksi yang menjaga kepatuhan terhadap hukum Islam. Transaksi yang mengandung elemen riba, gharar (ketidakpastian), atau maysir (spekulasi) dilarang dalam skema ini, memberikan kepastian bagi umat Muslim yang ingin menjalankan transaksi secara halal. Dengan prinsip ini, QRIS Syariah berpotensi menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin beralih ke sistem keuangan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai agama mereka.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data dari Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), pada Juni 2024, jumlah pengguna QRIS mencapai sekitar 51 juta konsumen, mengalami peningkatan sebesar 38% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, data mengenai adopsi QRIS Syariah masih terbatas, menunjukkan bahwa implementasinya belum mencapai potensi maksimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana QRIS Syariah dapat diterima secara luas dan menjadi pilihan utama masyarakat?

Dari perspektif inklusi keuangan, QRIS Syariah membuka peluang besar bagi pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berbasis syariah. Selain itu, sistem ini juga memberikan akses lebih luas kepada masyarakat yang ingin menghindari sistem keuangan konvensional. Dengan demikian, QRIS Syariah sejalan dengan tujuan ekonomi Islam yang menekankan prinsip keadilan dan keberkahan dalam transaksi.

Namun, terlepas dari potensinya, QRIS Syariah masih menghadapi berbagai tantangan besar yang dapat menghambat adopsinya secara luas. Salah satu kendala utama adalah rendahnya literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, tingkat literasi keuangan syariah hanya mencapai 39,11%, sementara tingkat inklusi keuangan syariah masih berada di angka 12,88%.

Meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah belum merata. Banyak orang yang belum memahami perbedaan mendasar antara QRIS Syariah dan QRIS konvensional, sehingga mereka cenderung tetap menggunakan QRIS biasa yang sudah lebih umum dan diterima di berbagai tempat.

Selain itu, dukungan dari lembaga keuangan terhadap QRIS Syariah masih terbatas. Hingga saat ini, belum semua bank syariah dan fintech berbasis Islam mengadopsi QRIS Syariah dalam platform mereka. Sebagian besar masih mengandalkan sistem pembayaran konvensional, yang lebih praktis dan telah diterima secara luas.

Hal ini membuat transisi ke sistem yang sepenuhnya berbasis syariah berjalan lambat. Padahal, jika bank syariah dan fintech lebih aktif mempromosikan QRIS Syariah, masyarakat mungkin akan lebih tertarik untuk menggunakannya.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah pengawasan terhadap kepatuhan QRIS Syariah terhadap prinsip-prinsip Islam. Meskipun sistem ini dirancang untuk menghindari unsur riba dan ketidakpastian, tetap ada risiko terjadinya pelanggaran.

Tanpa adanya pengawasan ketat dari Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dan regulator terkait, ada kemungkinan QRIS Syariah hanya menjadi label tanpa penerapan yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, penguatan regulasi dan pengawasan menjadi hal yang sangat krusial dalam memastikan bahwa QRIS Syariah benar-benar berfungsi sesuai dengan tujuan awalnya.

Untuk memastikan QRIS Syariah dapat berkembang dan menjadi masa depan transaksi keuangan di Indonesia, beberapa langkah perlu segera dilakukan. Pertama, edukasi masyarakat harus lebih digencarkan oleh pemerintah dan lembaga keuangan. Sosialisasi mengenai perbedaan QRIS Syariah dan QRIS konvensional perlu diperluas agar masyarakat memahami manfaatnya dan terdorong untuk menggunakannya.

Kedua, bank syariah dan fintech berbasis Islam harus lebih agresif dalam mengembangkan dan mempromosikan QRIS Syariah. Langkah ini dapat mempercepat adopsinya serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah secara keseluruhan.

Ketiga, pemerintah dan regulator dapat memberikan insentif kepada merchant yang menggunakan QRIS Syariah, sehingga lebih banyak pelaku usaha yang beralih ke sistem ini. Dengan semakin banyaknya bisnis yang mengadopsi QRIS Syariah, ekosistem keuangan syariah di Indonesia akan semakin berkembang.

Keempat, penguatan regulasi dan pengawasan juga sangat penting. Dewan Syariah Nasional dan otoritas terkait harus memastikan bahwa QRIS Syariah benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip Islam, tidak hanya sekadar label tanpa substansi.

Dengan pengawasan yang ketat, masyarakat akan lebih yakin bahwa mereka menggunakan sistem yang benar-benar halal dan transparan. Dengan langkah-langkah ini, QRIS Syariah memiliki peluang besar untuk menjadi solusi transaksi digital yang tidak hanya efisien, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

Meskipun masih menghadapi berbagai tantangan, QRIS Syariah memiliki potensi besar untuk menjadi masa depan transaksi keuangan di Indonesia. Dengan literasi keuangan yang lebih baik, dukungan dari lembaga keuangan, insentif bagi pelaku usaha, serta penguatan regulasi dan pengawasan, QRIS Syariah dapat berkembang lebih luas dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Jika semua pihak berperan aktif dalam mengembangkan sistem ini, bukan tidak mungkin QRIS Syariah akan menjadi standar baru dalam transaksi digital di Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *