“Lewat radio aku sampaikan, kerinduan yang lama terpendam…” — sepenggal lirik Sheila On 7 itu seakan menjadi gema yang akrab di telinga, terutama bagi mereka yang tumbuh di masa ketika suara penyiar radio menjadi teman setia di pagi dan malam hari.
Kini, gema itu perlahan memudar, tergantikan oleh deru notifikasi gawai. Namun, kerinduan terhadap radio dan televisi lokal tidak benar-benar padam. Ia masih bergetar di hati warga Pekalongan, kota yang sarat dengan cerita dan kreativitas.
Pekalongan dikenal dunia melalui batiknya warisan budaya yang membuat kota ini diakui UNESCO sebagai Creative City of Crafts and Folk Art. Namun, di balik motif dan warna batik, ada denyut kehidupan lain yang dulu turut meneguhkan semangat kreatif masyarakat: dunia penyiaran.
Radio dan televisi lokal pernah menjadi jendela bagi warga untuk menatap kotanya sendiri. Mereka menyampaikan kabar dari kampung, musik dari pelaku lokal, hingga pesan sosial dari komunitas masyarakat. Kini, di tengah derasnya arus digital, dua media ini seolah tersisih, dianggap tua dan tak lagi relevan di era YouTube, TikTok, dan podcast.
Dari Frekuensi ke Platform Digital
Perubahan cara orang menikmati informasi telah menggeser cara media beroperasi. Banyak warga Pekalongan kini lebih sering menatap layar ponsel ketimbang mendengarkan siaran radio atau menonton tayangan televisi lokal. Namun, di antara perubahan itu, masih ada yang bertahan dan berinovasi.
Beberapa stasiun lokal kini menayangkan ulang program mereka lewat kanal YouTube, live streaming, hingga unggahan potongan acara di media sosial. Radio komunitas pun beradaptasi dengan membuat versi podcast, agar pendengar bisa menikmati siaran kapan pun dan di mana pun.
Adaptasi ini membuktikan bahwa radio dan televisi tidaklah usang. Mereka hanya berganti bentuk, menjadi bagian dari ekosistem digital yang terus berevolusi. Dalam konteks ekonomi kreatif, siaran bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan juga konten yang memiliki nilai ekonomi. Dengan cara ini, gelombang analog dan era digital tidak perlu saling meniadakan mereka bisa berjalan berdampingan, saling memperkuat.
Media Lokal, Cermin Kehidupan Warga
Televisi dan radio lokal memiliki kedekatan emosional yang tak tergantikan oleh algoritma media sosial. Di sanalah suara warga benar-benar terdengar. Penyiar yang berbicara dengan logat khas, liputan tentang kegiatan kampung, atau panggung kecil bagi pelaku UMKM batik semuanya menghadirkan kehangatan dan keintiman yang sulit ditemukan di media arus utama.
Jika media nasional ibarat kapal besar yang berlayar di samudra luas, maka media lokal adalah perahu kecil yang dengan sabar menelusuri kanal-kanal kehidupan masyarakat. Mereka menyiarkan kisah-kisah yang sederhana namun bermakna: tentang pedagang batik di Kauman, musisi kampung di Tirto, atau anak muda yang menyalakan kreativitas dari studio sederhana. Siaran seperti ini bukan hanya hiburan, tetapi bentuk penguatan identitas kultural sekaligus pemberdayaan sosial dan ekonomi.
Kolaborasi sebagai Kunci
Sayangnya, banyak warga Pekalongan kini bahkan tidak menyadari bahwa di kotanya masih ada media lokal yang aktif menyiarkan program. Padahal, dengan dukungan komunitas, sekolah, dan pelaku ekonomi kreatif, media lokal bisa menjadi wahana penting untuk menumbuhkan kembali kebanggaan terhadap identitas daerah.
Dalam konteks ekonomi kreatif, televisi dan radio dapat menjadi wadah kolaborasi. Mereka bisa menjadi panggung bagi UMKM lokal memperkenalkan produk, ruang bagi seniman menampilkan karya, hingga laboratorium belajar bagi generasi muda yang tertarik pada dunia penyiaran dan konten digital.
Pemerintah daerah pun punya peran strategis: memberi insentif, membuka akses produksi bersama, serta membantu mengintegrasikan media lokal ke platform digital agar tak tertinggal.
Kembali Bercerita dari Pekalongan
Pekalongan selalu dikenal karena semangat gotong royong dan kreativitas warganya. Kini, semangat itu perlu disalurkan kembali melalui media penyiaran. Televisi dan radio lokal bisa menjadi simbol adaptasi baru: bukan sekadar media lama yang berusaha bertahan, tetapi ruang hidup yang terus berkembang.
Kekuatan ekonomi kreatif tidak hanya lahir dari teknologi, tetapi juga dari kemampuan sebuah daerah untuk terus bercerita dan beradaptasi. Radio dan televisi lokal Pekalongan harus kembali menjadi ruang hidup, tempat di mana cerita, suara, dan gagasan warga mengudara.
Mungkin sudah waktunya kita menekan tombol “on air” lagi. Bukan sekadar untuk nostalgia, melainkan untuk menyalakan kembali denyut komunikasi lokal yang hangat dan manusiawi. Dari studio kecil di sudut kota, suara penyiar yang ramah bisa kembali memanggil: “Selamat pagi, Pekalongan!”—dan dengan itu, kota ini pun kembali bercerita tentang dirinya sendiri.