Risiko Korupsi di Balik Program Koperasi Merah Putih

Penulis Risiko Korupsi di Balik Program Koperasi Merah Putih - Naufal Razan Aqilah
Penulis Risiko Korupsi di Balik Program Koperasi Merah Putih - Naufal Razan Aqilah

Angka-angka yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2024 seharusnya menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Dalam setahun, hanya 364 kasus korupsi ditangani aparat penegak hukum turun hampir separuh dari 791 kasus ada 2023. Namun, ironisnya, kerugian negara justru melonjak dari Rp28,4 triliun menjadi Rp279,9 triliun.

Alih-alih menimbulkan kehebohan, publik tampak tenang. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) memang naik tipis dari 34 menjadi 37, tetapi Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) justru menurun. Masyarakat kian permisif terhadap praktik “uang pelicin” yang dianggap wajar untuk memperlancar urusan birokrasi.

Bacaan Lainnya

“Transparansi penanganan perkara melemah. Masyarakat kehilangan dasar untuk menilai kinerja lembaga hukum,” ujar Zararah Azim dari ICW. Sementara itu, Ketua IM 57 Plus Institut, Lakso Anindito, menilai situasi ini kian memburuk akibat rapuhnya independensi lembaga hukum dan arah legislasi yang condong pada kepentingan elite.

Ia menyinggung pemberian amnesti terhadap Hasto Kristianto pada Juli 2025 sebagai sinyal bahwa kekuasaan kini berpotensi menjadi pelindung bagi pelaku korupsi.

Sementara itu, RUU Perampasan Aset yang diharapkan mampu memulihkan kerugian negara tak kunjung disahkan. Dalam suasana hukum yang melemah ini, pemerintah justru memperkenalkan Program Koperasi Merah Putih (KMP) sebuah proyek raksasa yang disebut-sebut sebagai tonggak baru kemandirian ekonomi rakyat. Namun, riset CELIOS (Center of Economic and Law Studies) menunjukkan bahwa program ini justru menyimpan potensi korupsi yang serius.

Celah Korupsi dalam Koperasi Merah Putih

Menurut laporan CELIOS (2025), pembentukan KMP dilakukan secara top-down, tanpa partisipasi warga, serta sarat dengan penunjukan politik. Bahkan, biaya legalitas koperasi diambil dari dana Belanja Tidak Terduga (BTT), sementara sebagian dana desa digunakan tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas.

Potensi kebocoran dana koperasi ini, menurut CELIOS, bisa mencapai Rp48 triliun dalam sepuluh tahun, atau rata-rata Rp4,8 triliun per tahun. Angka itu setara dengan sekitar 6,8 persen dari total Dana Desa nasional jika dirata-ratakan, sekitar Rp60 juta per desa berpotensi “menghilang” setiap tahun.

Kebocoran semacam ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menunjukkan perubahan bentuk korupsi: dari kejahatan individu menjadi mekanisme sosial yang melembaga. Ketika praktik semacam ini diterima sebagai “kelaziman”, korupsi bukan lagi penyimpangan, melainkan bagian dari cara sistem bekerja.

Korupsi yang Tertanam dalam Struktur Sosial

Dari perspektif sosiologi ekonomi, fenomena ini menggambarkan apa yang disebut Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) sebagai embedded economy bahwa aktivitas ekonomi selalu tertanam dalam jaringan sosial dan politik. Di Indonesia, ekonomi tidak pernah benar-benar netral. Setiap kebijakan ekonomi, dari subsidi hingga koperasi, selalu lahir dalam ruang sosial yang diwarnai patronase dan loyalitas politik.

Mark Granovetter (1985) memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa tindakan ekonomi selalu berakar pada hubungan sosial yang diwarnai kepercayaan dan timbal balik. Dalam konteks negara dengan institusi lemah, jaringan sosial tersebut bisa berfungsi ganda: menjadi perekat solidaritas, tetapi juga saluran korupsi.

Koperasi Merah Putih menggambarkan kondisi itu dengan jelas. Kepercayaan dan solidaritas warga justru dipelintir menjadi pelumas rente. Hubungan informal menggantikan mekanisme hukum dan audit formal, sehingga aliran dana publik berjalan tanpa akuntabilitas.

Temuan ICW juga menunjukkan kecenderungan yang lebih dalam: vonis korupsi yang ringan, rata-rata hanya 3 tahun 7 bulan, dan lebih dari 680 terdakwa yang bebas antara 2015–2023. Hal ini menegaskan bahwa korupsi bukan lagi kejahatan yang bersembunyi, melainkan sistem yang dilembagakan dan bahkan dijustifikasi.

Ekonomi Biaya Tinggi dan Runtuhnya Etika Publik

Kondisi ini membawa Indonesia pada realitas high-cost economy ekonomi berbiaya tinggi, di mana setiap izin, proyek, dan kebijakan publik menanggung biaya sosial tak tertulis. Studi Lavides (2025) menunjukkan bahwa praktik rente menekan produktivitas, menurunkan kepercayaan pasar, serta memperlebar ketimpangan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mungkin terlihat positif di atas kertas, tetapi fondasinya rapuh. Ketika keputusan ekonomi lebih banyak ditentukan oleh kedekatan dengan kekuasaan ketimbang kompetensi, maka efisiensi dan keadilan ekonomi menjadi korban. Akibatnya, ekonomi berkembang tanpa moralitas; rasionalitas ekonomi tercerabut dari nilai sosialnya.

Koperasi Merah Putih, yang seharusnya menjadi simbol gotong royong dan kemandirian rakyat, justru berisiko menjadi kendaraan rente baru. Di banyak daerah, pengurus koperasi dipilih bukan karena kemampuan manajerial, tetapi karena loyalitas politik. Laporan keuangan tidak dibuka ke publik, audit tak berjalan, dan warga hanya diminta menandatangani dokumen tanpa memahami isinya.

Jika pola ini terus dibiarkan, proyek yang mestinya menjadi wadah ekonomi rakyat justru memperkuat ketergantungan terhadap elite politik. Seperti diingatkan Polanyi, ketika ekonomi tercerabut dari etika sosial, masyarakat akan hancur dari dalam: hukum kehilangan wibawa, kebijakan kehilangan makna, dan publik kehilangan kepercayaan.

Menanam Kembali Nilai dalam Ekonomi

Reformasi ekonomi tak cukup dilakukan dengan kebijakan teknis semata. Ia harus dimulai dari penanaman ulang nilai sosial: transparansi, partisipasi, dan keadilan sebagai fondasi utama. Koperasi, dalam pengertian sejatinya, adalah wadah pemberdayaan warga untuk mencapai kesejahteraan bersama bukan instrumen politik untuk mengalirkan rente baru.

Selama akses lebih penting daripada integritas, dan kedekatan lebih berharga daripada kompetensi, maka jaringan korupsi akan terus membelit ekonomi Indonesia. Masyarakatlah yang akhirnya harus membayar harga sosial dari pembangunan yang tidak pernah benar-benar berpihak pada mereka.

Mencegah korupsi berarti menormalisasi integritas. Sebab, jika setiap kebijakan baru hanya melahirkan bentuk korupsi baru, maka bangsa ini akan terus bergerak dalam lingkaran yang sama: membangun tanpa benar-benar tumbuh, berjuang tanpa benar-benar berubah.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *