Ruwatan Sebagai Penolak Bala dan Cermin Hukum Adat Jawa yang Hidup

Ilustrasi/penulis
Ilustrasi/penulis

Di tengah arus modernitas dan kompleksitas hukum positif yang terus berkembang, hukum adat masih menjadi pilar penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terutama di wilayah pedesaan dan komunitas yang kuat memegang nilai-nilai tradisi, hukum adat tak hanya bertahan, tetapi tetap dijalankan dan dipercaya.

Salah satu manifestasi nyata dari hukum adat yang masih lestari hingga kini adalah tradisi ruwatan, sebuah ritual penolak bala yang sarat nilai spiritual dan sosial. Bagi masyarakat Jawa, ruwatan bukan sekadar ritual budaya, melainkan cerminan dari sistem hukum yang hidup, berakar pada nilai-nilai kolektif, spiritualitas, serta keadilan sosial.

Bacaan Lainnya

Secara etimologis, kata “ruwatan” berasal dari akar kata “ruwat”, yang berarti membebaskan atau melepaskan. Dalam praktiknya, ruwatan bertujuan untuk membebaskan seseorang dari sengkolo, yakni kesialan atau nasib buruk yang diyakini melekat sejak lahir atau karena peristiwa tertentu.

Anak-anak yang lahir dalam kondisi khusus seperti anak tunggal (ontang-anting), anak kembar, atau lahir pada weton tertentu, dianggap rentan terhadap gangguan spiritual. Mereka diyakini perlu diruwat agar terhindar dari mara bahaya dan memperoleh kehidupan yang lebih seimbang secara spiritual dan sosial.

Tradisi ruwatan biasanya dilakukan dalam berbagai bentuk, namun salah satu yang paling populer adalah ruwatan wayang kulit dengan lakon “Murwakala”. Lakon ini mengisahkan tentang Batara Kala, sosok mitologis sebagai penguasa waktu dan simbol bencana.

Prosesi ruwatan dipimpin oleh dalang khusus yang memiliki pemahaman mendalam terhadap spiritualitas dan aturan adat. Selain pagelaran wayang, ruwatan juga disertai dengan sesajen, doa-doa, air suci, dan berbagai simbol budaya yang mengandung nilai filosofis tinggi.

Lebih dari sekadar ritual, ruwatan mencerminkan keberadaan living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Eugen Ehrlich, yang menyatakan bahwa hukum sejati adalah yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bukan semata-mata yang tertulis dalam perundang-undangan.

Dalam hal ini, ruwatan adalah bagian dari hukum adat yang memiliki otoritas sosial dan spiritual yang kuat, meskipun tidak diatur secara formal dalam sistem hukum nasional.

Van Vollenhoven, pakar hukum adat Hindia Belanda, menegaskan bahwa hukum adat memiliki struktur dan nilai tersendiri. Meskipun tak memiliki lembaga formal seperti pengadilan atau aparat penegak hukum, pelanggaran terhadap hukum adat kerap disertai sanksi sosial yang diyakini lebih berat daripada hukuman negara.

Dalam konteks ruwatan, ritual ini berfungsi sebagai bentuk penyelesaian konflik spiritual, rekonsiliasi, dan pemulihan harmoni sosial. Nilai-nilai seperti tanggung jawab moral, keselarasan dengan alam semesta, dan keterhubungan spiritual antara manusia dan Tuhan menjadi landasan kuat dalam pelaksanaan tradisi ini.

Sebuah studi lapangan yang dilakukan oleh Meydyah Kartika Palupi pada tahun 2024 di Kelurahan Mergosono, Kota Malang, menunjukkan bahwa tradisi ruwatan masih aktif dipraktikkan. Tak hanya dilakukan secara individu, ruwatan di daerah ini sering kali diadakan secara komunal sebagai bentuk respon terhadap musibah yang terjadi beruntun, seperti kematian mendadak atau bencana alam. Masyarakat setempat memaknai ruwatan sebagai upaya menetralkan ketidakseimbangan spiritual yang diyakini menjadi penyebab dari musibah-musibah tersebut.

Yang menarik dari studi ini adalah keterlibatan warga secara gotong royong dalam pelaksanaan ruwatan. Semua elemen masyarakat—dari tokoh adat hingga tokoh agama—bersatu dalam proses ritual. Dalam beberapa kasus, unsur-unsur Islam diintegrasikan dalam pelaksanaan ruwatan.

Doa-doa dalam bahasa Arab seperti tahlil, sholawat, dan doa selamat menggantikan mantra-mantra tradisional, mencerminkan proses akulturasi budaya yang dinamis antara adat dan agama. Sesajen yang digunakan pun disederhanakan, lebih simbolis, dan berfokus pada nilai-nilai spiritual serta rasa syukur kepada Tuhan.

Meski begitu, ruwatan juga menjadi sorotan dari sudut pandang keagamaan. Sebagian kalangan konservatif memandang tradisi ini sebagai praktik yang dekat dengan kemusyrikan atau bid’ah. Namun banyak pula ulama dan cendekiawan muslim yang melihat ruwatan dari perspektif budaya.

Pendekatan ini sesuai dengan kerangka Clifford Geertz dalam mengkaji struktur kebudayaan Jawa yang terbagi dalam kelompok santri, abangan, dan priyayi. Ruwatan dalam konteks ini menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat Jawa yang inklusif.

Dari sisi legal-formal, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan relevan dengan perkembangan masyarakat.

Hal ini memberikan ruang legal bagi praktik seperti ruwatan untuk terus berlangsung dan diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang pluralistik. Negara pada dasarnya tak menafikan eksistensi hukum adat, melainkan memberi tempat bagi keberagamannya dalam koridor konstitusi.

Dalam teori hukum modern, ruwatan juga dapat dipandang sebagai bentuk keadilan restoratif. Berbeda dari keadilan retributif yang menitikberatkan pada hukuman, keadilan restoratif menekankan pada pemulihan harmoni sosial dan spiritual.

Dalam ruwatan, individu atau kelompok yang dianggap “bermasalah” dibantu untuk menebus nasib buruk mereka melalui simbol-simbol budaya yang menyentuh aspek psikologis dan sosial. Hasilnya bukan sekadar pengampunan, tetapi perbaikan dan pembaruan moral secara menyeluruh.

Ruwatan juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang efektif. Individu yang merasa memiliki potensi terkena sengkolo akan dengan sukarela menjalani ruwatan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan komunitas. Ini membuktikan bahwa hukum adat seperti ruwatan bekerja melalui kesadaran kolektif dan penghormatan terhadap nilai spiritual, bukan melalui paksaan.

Pada akhirnya, tradisi ruwatan adalah contoh konkret dari hukum yang bersifat manusiawi—hukum yang tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga menyentuh dimensi terdalam manusia: spiritualitas, solidaritas, dan keadilan.

Dalam dunia modern yang serba rasional, kehadiran hukum adat seperti ruwatan menjadi penyeimbang yang menunjukkan bahwa keadilan tidak melulu harus hadir dalam bentuk pasal-pasal, melainkan juga dapat tampil melalui simbol, ritus, dan nilai-nilai kearifan lokal yang telah hidup ratusan tahun lamanya.

Melestarikan ruwatan bukan hanya tentang menjaga budaya, tetapi juga memperkaya sistem hukum nasional dengan nuansa lokal yang membumi. Sebab, hukum sejati bukan semata tentang aturan, tetapi tentang bagaimana manusia hidup bersama dalam harmoni, saling menjaga, dan saling menguatkan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *