Di era Kurikulum Merdeka yang menekankan pentingnya pembelajaran yang berdiferensiasi dan partisipatif, tak hanya guru yang aktif mengajar, tetapi siswa pun diharapkan lebih aktif dalam membangun pengetahuan, sikap, dan karakter mereka sendiri.
Dalam konteks ini, metode evaluasi yang selama ini cenderung bersifat satu arah dan berbasis angka juga dituntut untuk mengalami transformasi. Evaluasi kini tidak cukup sekadar menjadi alat pengukur capaian, tetapi harus menjadi bagian integral dari proses pembelajaran yang inklusif, bermakna, dan kontekstual.
Salah satu pendekatan evaluasi yang mulai mendapat perhatian adalah peer assessment yaitu penilaian yang dilakukan oleh siswa terhadap hasil kerja atau sikap teman sekelasnya. Di sejumlah mata pelajaran eksakta, praktik ini relatif lebih terbiasa digunakan karena sifat materinya yang objektif dan berbasis produk.
Namun, menarik untuk mengangkat pertanyaan: bagaimana jika pendekatan ini diterapkan dalam Pendidikan Agama Islam (PAI), suatu mata pelajaran yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan spiritual?
Apakah peer assessment dapat menjadi alat yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai keislaman, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian? Ataukah metode ini justru akan menimbulkan persoalan baru seperti bias penilaian, ketidaknyamanan, bahkan konflik antar siswa? Di sinilah pentingnya mengkaji secara mendalam efektivitas dan kelayakan peer assessment dalam ranah pembelajaran agama yang sarat akan nilai.
Peer Assessment: Dari Menilai Jadi Mendidik
Secara sederhana, peer assessment adalah proses di mana siswa menilai hasil kerja atau perilaku temannya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Dalam konteks PAI, metode ini berpotensi besar untuk memperluas ruang lingkup evaluasi. Tidak hanya menilai aspek kognitif seperti hafalan atau pemahaman materi, tetapi juga aspek afektif, seperti akhlak, kejujuran, tanggung jawab, hingga kepedulian sosial.
Selama ini, evaluasi PAI seringkali terpusat pada guru, baik dalam bentuk tes tulis, lisan, maupun observasi. Padahal, implementasi nilai-nilai PAI tidak cukup terlihat melalui hal tersebut. Selain itu, ketika evaluasi hanya datang dari satu arah, banyak dimensi perilaku siswa yang luput dari perhatian. Misalnya, bagaimana sikap siswa di luar jam pelajaran, cara siswa berinteraksi dengan teman, atau konsistensi dalam mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan.
Justru teman sekelas yang berinteraksi sehari-hari lah yang bisa menjadi sumber informasi penting dalam melihat implementasi nilai-nilai Islam dalam perilaku nyata. Dalam Islam, praktik amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) sejatinya bukan hanya tugas guru, melainkan juga tanggung jawab bersama termasuk antar siswa.
Manfaat Peer Assessment dalam Pembelajaran PAI
Pertama, peer assessment melatih siswa untuk jujur dan bertanggung jawab. Ketika mereka menilai teman, mereka belajar untuk tidak asal memberi angka. Mereka diajak berpikir secara etis, objektif, dan adil. Semua itu juga adalah nilai yang juga diajarkan dalam PAI.
Kedua, siswa menjadi lebih reflektif. Dalam menilai teman, mereka tanpa sadar juga menilai dirinya sendiri. Proses ini bisa memperkuat kesadaran moral dan membantu pembentukan karakter yang kuat, karena mereka tidak hanya “belajar agama” tetapi menegakkan nilai agama melalui praktik langsung. Hal ini menjadikan siswa bukan hanya objek pembelajaran, tapi juga subjek yang terlibat aktif dalam evaluasi yang dijadikan sebagai proses pembelajaran (assesment as learning).
Ketiga, peer assessment memperkuat hubungan sosial yang sehat. Ketika dibimbing dengan tepat, siswa akan terbiasa memberi umpan balik dengan cara yang baik, santun, dan membangun. Ini akan membentuk budaya saling menasihati dalam kebaikan sebuah nilai Islami.
Tantangan dan Risiko yang Perlu Diantisipasi
Namun, tentu saja penerapan peer assessment dalam PAI tidak terlepas dari tantangan. Salah satu risiko utama adalah ketidakobjektifan. Hubungan pertemanan bisa memengaruhi penilaian baik itu karena terlalu merasa ‘tidak enak’ dengan teman atau sebaliknya, terlalu kritis. Ini bisa menimbulkan konflik atau bahkan perasaan tidak nyaman antar siswa.
Selain itu, tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menilai secara adil dan bertanggung jawab. Tanpa pembimbingan yang matang dari guru, peer assessment bisa menjadi membuat siswa merasa malu.
Oleh karena itu, guru PAI harus benar-benar merancang dan memfasilitasi proses ini dengan bijak. Dibutuhkan rubrik penilaian yang jelas, pembimbingan tentang cara memberi umpan balik yang konstruktif, serta penguatan nilai adab dan etika dalam menilai. Guru juga tetap harus menjadi pihak yang memvalidasi hasil peer assessment untuk memastikan keadilan dan keseimbangan.
Peran Guru PAI: Dari Penilai Menjadi Pembimbing Nilai
Untuk memastikan peer assessment berjalan efektif dalam pembelajaran PAI, peran guru sangat krusial. Guru tidak cukup hanya membagikan lembar penilaian antar siswa, lalu mengumpulkannya begitu saja. Justru, guru harus menjadi arsitek yang merancang seluruh proses dengan mempertimbangkan nilai-nilai pedagogis dan etika Islami.
Pertama, guru perlu menyiapkan rubrik penilaian yang jelas dan terukur, terutama untuk aspek sikap seperti kejujuran, kerja sama, tanggung jawab, dan kepedulian. Rubrik ini bukan hanya sebagai alat teknis, tetapi juga menjadi panduan nilai bagi siswa dalam memahami seperti apa perilaku Islami yang perlu diapresiasi dan dinilai.
Kedua, guru memiliki tanggung jawab untuk membimbing siswa dalam memberi umpan balik. Memberi penilaian bukan hal yang mudah, apalagi jika berkaitan dengan temannya sendiri. Di sinilah guru perlu menanamkan prinsip-prinsip adab dalam menilai bahwa menilai bukan untuk menghakimi, melainkan untuk saling memperbaiki dan saling menasihati dalam kebaikan. Siswa perlu diberi pemahaman bahwa penilaian harus dilakukan dengan hati-hati, jujur, dan tetap menjaga harga diri temannya.
Ketiga, guru tetap memegang kendali akhir dalam proses evaluasi. Validasi oleh guru menjadi penting untuk menjaga obyektivitas dan mencegah munculnya bias atau konflik. Penilaian siswa terhadap temannya bisa menjadi salah satu sumber informasi, namun tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar dalam pengambilan keputusan.
Dengan pendekatan yang bijak seperti ini, peer assessment dalam PAI akan lebih dari sekadar metode evaluasi. Hal ini akan menjadi sarana penguatan karakter, pembiasaan adab Islami, dan media pembelajaran nilai yang sesungguhnya. Maka benar adanya, bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga menanamkan keadaban dalam setiap aspek proses belajar.
Mendidik Bukan Menghakimi
Pendidikan Agama Islam tidak hanya bertujuan mencetak siswa yang tahu tentang agama, tetapi yang mampu menjalankan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, peer assessment bisa menjadi jembatan untuk memperkuat dimensi afektif dalam evaluasi. Namun, efektivitas metode ini sangat bergantung pada bagaimana diterapkan.
Ia bukan sekadar metode evaluasi, tetapi juga media pembelajaran nilai. Jika dilaksanakan dengan pendampingan yang bijak, peer assessment bisa mengubah paradigma penilaian dari sekadar memberi skor menjadi proses saling mendidik antar siswa.
Dengan kata lain, peer assessment dalam PAI bukan soal siswa menilai siswa, tetapi tentang bagaimana siswa belajar untuk menjadi pribadi yang adil, jujur, dan saling menasihati dalam kebaikan. Sebagaimana Prof. Abuddin Nata berpendapat bahwa, “Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi utuh, bukan hanya mengetahui ajaran agama, tetapi juga mampu menjalankannya dengan benar.” Maknanya, setiap aspek pembelajaran termasuk evaluasi harus menjadi media pembentukan karakter, bukan sekadar perolehan nilai.





