Work-life Balance: Hak Pekerja atau Kemewahan Segelintir Orang?

Ilustrasi foto Work-life balance / Adobe Stock

Dalam dunia kerja modern, batas antara kehidupan profesional dan pribadi semakin kabur. Bekerja tidak lagi terbatas oleh jam kantor, melainkan terus berlanjut melalui email, pesan kerja, dan deadline yang menghantui bahkan setelah pekerja pulang ke rumah.

Alih-alih menikmati waktu istirahat, banyak karyawan justru terjebak dalam siklus kerja tanpa henti. Fenomena ini memicu perdebatan: apakah work-life balance merupakan hak dasar setiap pekerja, atau hanya sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang?

Bacaan Lainnya

Pada kenyataannya, work-life balance memiliki dampak yang luas terhadap kesehatan mental, kebahagiaan individu, serta produktivitas perusahaan. Jika diabaikan, ketidakseimbangan ini dapat berujung pada kelelahan kerja (burnout) yang merugikan semua pihak.

Sayangnya, masih ada anggapan bahwa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi hanyalah sebuah privilege, bukan hak dasar yang harus diperjuangkan. Anggapan ini semakin kuat di kalangan pekerja sektor informal atau mereka yang bekerja dengan sistem kontrak.

Padahal, work-life balance seharusnya menjadi standar yang dijamin melalui kebijakan perusahaan dan pemerintah demi menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan berkelanjutan.

Seiring perkembangan zaman, pola kerja semakin dinamis akibat kemajuan teknologi dan meningkatnya tekanan produktivitas. Sayangnya, banyak perusahaan justru menerapkan budaya kerja tanpa batasan waktu, mendorong karyawan untuk terus bekerja tanpa jeda. Akibatnya, kebiasaan ini perlahan merampas kesejahteraan mereka.

Menurut survei oleh FlexJobs pada tahun 2022, sebanyak 63% responden lebih memilih keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi dibandingkan gaji yang lebih tinggi. Angka ini menunjukkan bahwa banyak pekerja menganggap work-life balance sebagai prioritas utama dalam memilih pekerjaan.

Pandemi COVID-19 juga mempercepat perubahan cara kerja. Dengan meningkatnya tren work from home (WFH), batas antara kehidupan kerja dan pribadi semakin kabur. Penelitian yang dilakukan oleh Forbes Health terhadap 1.120 pekerja menunjukkan bahwa 90% pekerja menganggap work-life balance sebagai aspek penting dalam pekerjaan mereka. Di era digital ini, pekerja tidak lagi sekadar menerima aturan perusahaan, tetapi mulai menuntut fleksibilitas kerja yang memungkinkan mereka menyesuaikan pekerjaan dengan prioritas pribadi.

Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi tidak hanya menguntungkan pekerja, tetapi juga perusahaan. Karyawan yang merasa seimbang cenderung lebih produktif dan lebih loyal terhadap perusahaan.

Sebuah studi menunjukkan bahwa karyawan dengan work-life balance yang baik memiliki tingkat keterlibatan kerja 40% lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Selain itu, keseimbangan yang baik dapat mengurangi stres dan risiko burnout, yang pada akhirnya mengurangi biaya kesehatan yang harus ditanggung perusahaan.

Salah satu contoh nyata dari pentingnya work-life balance dapat dilihat pada perusahaan teknologi besar seperti Google. Mereka menawarkan berbagai fasilitas untuk mendukung keseimbangan kerja-hidup karyawan, termasuk jam kerja fleksibel, ruang relaksasi, serta program kesehatan mental.

Hasilnya, Google mencatat tingkat retensi karyawan yang sangat tinggi dan produktivitas yang luar biasa. Sebaliknya, perusahaan dengan budaya kerja yang menuntut jam kerja panjang sering kali mengalami tingkat pergantian karyawan yang tinggi dan penurunan produktivitas.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, tantangan dalam mencapai work-life balance masih sangat signifikan. Pekerja di sektor informal, yang merupakan bagian besar dari angkatan kerja, sering kali terjebak dalam pola kerja yang tidak sehat.

Mereka harus bekerja dalam jam yang panjang dengan upah yang rendah dan tanpa jaminan sosial yang memadai. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pekerja di Indonesia masih bekerja lebih dari 35 jam per minggu. Angka ini mencerminkan kondisi di mana banyak pekerja mengalami tekanan tinggi akibat target yang tidak realistis dan tuntutan pekerjaan yang berlebihan.

Kondisi ini diperparah oleh budaya kerja yang lebih menghargai kehadiran fisik di kantor dibandingkan hasil kerja yang dicapai. Banyak pekerja merasa terpaksa lembur demi memenuhi ekspektasi atasan, meskipun hal tersebut berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.

Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur jam kerja dan hak istirahat, banyak perusahaan mengabaikannya, terutama di sektor informal dan industri dengan tekanan kerja tinggi.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan perubahan paradigma perusahaan mengenai produktivitas. Perusahaan harus menyadari bahwa kesejahteraan pekerja berdampak langsung pada keberlangsungan bisnis mereka. Menerapkan kebijakan fleksibel seperti jam kerja adaptif, opsi kerja jarak jauh, dan cuti yang lebih memadai dapat membantu pekerja mencapai keseimbangan yang lebih baik.

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam memastikan regulasi terkait jam kerja dan kesejahteraan pekerja diterapkan dengan baik. Pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan yang melanggar aturan serta pemberian insentif bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan pro-keseimbangan dapat menjadi solusi efektif. Selain itu, edukasi kepada pekerja tentang hak-hak mereka juga perlu ditingkatkan agar mereka lebih berani menuntut lingkungan kerja yang sehat.

Di sisi individu, pekerja perlu lebih tegas dalam menetapkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mengatur jadwal kerja dengan disiplin, menghindari kebiasaan bekerja di luar jam kerja, serta meluangkan waktu untuk aktivitas di luar pekerjaan adalah beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan.

Pada akhirnya, work-life balance bukanlah sekadar kemewahan, melainkan hak yang seharusnya dinikmati oleh setiap pekerja. Tanpa keseimbangan ini, individu berisiko mengalami penurunan kesehatan mental dan fisik, yang pada gilirannya dapat mengganggu produktivitas dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja menjadi sangat penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya work-life balance, kita dapat memastikan bahwa semua pekerja mendapatkan hak mereka untuk hidup dan bekerja dengan lebih seimbang. Melalui upaya bersama ini, kita tidak hanya menciptakan tenaga kerja yang lebih bahagia dan produktif, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *