Keistimewaan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bukti nyata bahwa demokrasi tidak harus seragam. Status istimewa yang diberikan kepada Aceh bukan sekadar hasil kompromi politik pasca-konflik yang berkepanjangan, tetapi juga merupakan wujud penghargaan negara terhadap identitas kultural dan religius masyarakat Aceh. Ketika Indonesia merangkul Aceh dengan pendekatan khusus, negara sebenarnya sedang menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.
Dalam konteks hukum tata negara, pemberlakuan status istimewa terhadap Aceh memperlihatkan bahwa prinsip desentralisasi tidak serta-merta mengancam keutuhan negara. Sebaliknya, hal itu justru memperkuat NKRI melalui pengakuan atas kebutuhan lokal yang bersifat unik.
Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 menjadi dasar konstitusional keistimewaan ini, yang kemudian dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan regulasi ini, negara mengakui pentingnya pendekatan asimetris dalam mengelola hubungan pusat dan daerah.
Aceh diberikan ruang yang lebih luas untuk mengatur dirinya sendiri, bahkan dalam aspek keagamaan yang di daerah lain tidak diberlakukan. Kehadiran Qanun-Qanun, sebagai produk hukum daerah yang mencerminkan nilai-nilai lokal dan syariat Islam, merupakan konsekuensi logis dari latar belakang historis, sosial, dan politik Aceh.
Ini bukan perlakuan khusus yang diskriminatif, melainkan bentuk pengakuan atas perjalanan panjang dan kompleks dalam hubungan Aceh dengan pemerintah pusat. Mengabaikan kekhususan ini justru akan menjadi celah bagi potensi konflik dan perpecahan.
Namun, dalam implementasinya, muncul berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu isu paling menonjol adalah ketegangan antara pelaksanaan Syariat Islam dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat universal.
Penerapan hukuman cambuk, misalnya, kerap menjadi sorotan dalam diskusi publik, baik nasional maupun internasional. Praktik semacam ini memunculkan dilema antara penghormatan terhadap nilai lokal dan komitmen terhadap prinsip-prinsip martabat manusia yang dijamin oleh konstitusi dan konvensi internasional.
Aceh dituntut untuk mampu merumuskan interpretasi syariat yang lebih kontekstual dan progresif. Bukan berarti meninggalkan nilai-nilai religius, melainkan menegaskan bahwa ajaran agama bisa berjalan seiring dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Transformasi hukum berbasis syariat di Aceh perlu diarahkan untuk menjawab tantangan zaman, bukan sekadar mempertahankan simbolisme.
Saya juga mencermati bahwa dalam praktiknya, keberadaan Mahkamah Syar’iyah di Aceh belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan substantif. Laporan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerhati HAM menunjukkan adanya potensi diskriminasi terhadap kelompok tertentu, terutama perempuan dan minoritas. Ini menjadi ironi tersendiri, mengingat otonomi khusus semestinya menjadi alat untuk memperkuat keadilan sosial, bukan justru membuka celah baru bagi ketidakadilan.
Koreksi terhadap praktik-praktik yang menyimpang harus dimulai dari internal Aceh sendiri. Diperlukan keberanian intelektual dan politik untuk melakukan rekontekstualisasi hukum Islam, agar lebih sejalan dengan semangat keadilan, kesetaraan gender, dan penghormatan terhadap hak individu. Ketakutan terhadap narasi modernitas tidak seharusnya menghambat upaya pembaruan hukum yang berorientasi pada kemaslahatan bersama.
Dalam aspek politik lokal, tidak dapat dipungkiri bahwa otonomi Aceh kadang tersandera oleh dominasi elite politik daerah. Banyak Qanun yang lahir lebih bersifat simbolik dan politis, daripada benar-benar menjawab kebutuhan riil masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah keistimewaan itu akan dijalankan untuk kepentingan rakyat atau justru menjadi alat legitimasi kekuasaan oligarki lokal?
Kekuatan masyarakat sipil dan partisipasi publik menjadi sangat penting dalam konteks ini. Tanpa kontrol sosial yang kuat, otonomi Aceh bisa kehilangan roh idealismenya dan berubah menjadi jargon kosong. Keistimewaan bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan demokratis.
Dalam konteks hubungan pusat dan daerah, Aceh menjadi contoh penting bahwa otonomi asimetris memerlukan komitmen timbal balik. Pemerintah pusat harus konsisten menghormati kewenangan Aceh tanpa melakukan intervensi yang berlebihan, demi menjaga semangat perdamaian dan rekonsiliasi. Sebaliknya, pemerintah Aceh harus menunjukkan kapasitas yang mumpuni dalam mengelola kekhususan tersebut dengan penuh tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas.
Keistimewaan tidak bisa hanya menjadi slogan atau retorika politik. Ia harus terwujud dalam kebijakan publik yang nyata, inklusif, dan berpihak pada masyarakat. Negara juga tetap berkewajiban menjaga prinsip dasar konstitusi, terutama mengenai HAM dan supremasi hukum.
Ketika ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi khusus, respons negara tidak boleh bersifat represif, tetapi harus melalui mekanisme hukum dan dialog yang konstruktif.
Aceh tidak perlu merasa dipaksa untuk menyeragamkan diri dengan daerah lain di Indonesia. Justru, keberhasilannya dalam mempertahankan identitas lokal sambil tetap menjunjung nilai-nilai universal kemanusiaan akan menjadi cerminan kematangan demokrasi Indonesia.
Pada akhirnya, saya percaya bahwa keistimewaan Aceh adalah laboratorium hidup bagi pembuktian apakah bangsa ini benar-benar mampu menjadi negara demokratis yang inklusif. Bila Aceh berhasil menyeimbangkan nilai lokal dan hak universal, maka kita telah mengambil langkah besar menuju masa depan Indonesia yang lebih adil, plural, dan beradab.
Namun bila gagal, hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi model otonomi daerah lainnya. Aceh tidak hanya berbicara tentang masa lalunya yang penuh luka, tetapi juga tentang masa depan demokrasi Indonesia yang sedang kita bangun bersama.
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H