Konsep negara merupakan topik diskusi penting dalam ilmu politik yang memengaruhi teori pemerintahan dan praktik politik di seluruh dunia. Pemahaman mengenai negara terbentuk melalui berbagai perspektif budaya dan filosofis yang dikembangkan oleh para ilmuwan dari beragam latar belakang.
Ilmuwan Muslim dan Barat memiliki pandangan yang unik dan khas dalam membahas peran serta fungsi negara. Artikel ini bertujuan untuk mengupas perbandingan pandangan kedua kelompok ini, menelaah kelebihan serta kekurangannya, dan mengeksplorasi bagaimana pemikiran tersebut relevan dalam praktik politik modern.
Dalam konteks ini, dua tokoh utama yang sering dikaitkan dengan diskusi ini adalah George H. Smith, pemikir libertarian dari Barat, dan Ibnu Khaldun, cendekiawan Muslim abad ke-14. Meski berasal dari latar belakang budaya dan zaman yang berbeda, pandangan mereka menawarkan wawasan mendalam mengenai hakikat negara dan perannya dalam kehidupan masyarakat.
George H. Smith, dalam esainya “Nature of the State,” mengungkapkan bahwa negara merupakan alat kekuasaan yang sering kali berpotensi menekan kebebasan individu. Baginya, kekuasaan negara harus terus dikritisi untuk memastikan tidak menyimpang dari prinsip kebebasan.
Smith menyoroti bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengontrol kekuasaan negara agar tidak menjadi alat penindasan. Perspektif ini mencerminkan tradisi Barat yang menempatkan individualisme dan skeptisisme terhadap kekuasaan negara sebagai elemen sentral.
Sebaliknya, Ibnu Khaldun menawarkan pandangan yang lebih kolektif melalui konsep “asabiyah” atau solidaritas sosial. Ia menegaskan bahwa kekuatan negara terletak pada kemampuan membangun solidaritas yang kuat di antara masyarakatnya.
Baca Juga: Bahasa Campuran Mengancam Keberadaan Bahasa Indonesia di Era Digital
Menurut Ibnu Khaldun, negara yang ideal adalah negara yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai sosial untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Konsep ini menekankan peran negara sebagai perekat yang menyatukan individu dalam satu komunitas yang harmonis.
Perbandingan kedua pemikiran ini memberikan wawasan yang berharga. Perspektif Smith, yang mengkritisi legitimasi kekuasaan negara, relevan dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas di era modern.
Di sisi lain, gagasan Ibnu Khaldun mengenai pentingnya solidaritas sosial mengingatkan bahwa stabilitas negara tidak hanya ditentukan oleh kekuasaan, tetapi juga oleh kemampuan membangun kohesi sosial.
Smith juga menekankan bahwa legitimasi negara tidak dapat didasarkan semata pada kekuatan militer atau penaklukan. Sejarah menunjukkan bahwa banyak negara didirikan melalui kekerasan atau dominasi, yang kerap mengabaikan kesepakatan sukarela masyarakat.
Baca Juga: Menghadapi Kecanduan Gadget pada Anak: Peran Kita
Hal ini mendukung pandangan bahwa negara harus melindungi hak-hak individu dan mengedepankan prinsip moralitas dalam legitimasi kekuasaannya. Jika tidak, negara berisiko menjadi alat tirani yang mengancam kebebasan pribadi warganya.
Di sisi lain, konsep asabiyah Ibnu Khaldun tetap relevan dalam mengatasi tantangan global seperti korupsi, polarisasi sosial, dan ketidakadilan. Solidaritas sosial yang kuat mampu mencegah ketegangan sosial dan menciptakan stabilitas politik.
Misalnya, negara-negara yang berhasil menjaga kohesi sosial cenderung memiliki masyarakat yang mendukung pemerintahannya dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sebaliknya, kurangnya solidaritas dapat memicu kerusuhan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Gagasan Ibnu Khaldun juga menyoroti bahaya pemerintahan yang tidak berlandaskan nilai-nilai sosial dan moral. Pemerintahan semacam itu rentan terhadap korupsi dan penolakan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip solidaritas sosial menjadi sangat penting untuk membangun negara yang stabil dan adil di era kontemporer.
Baca Juga: Pencemaran Limbah Industri di Indonesia: Tantangan dan Solusi
Dalam konteks globalisasi saat ini, kombinasi antara kebebasan individu dan nilai-nilai sosial yang kokoh menjadi kunci menciptakan masyarakat yang harmonis. Perbandingan antara pemikiran ilmuwan Muslim dan Barat menunjukkan bahwa integrasi perspektif yang berbeda dapat membantu menghadapi tantangan modern dengan lebih baik.
Smith mengajarkan pentingnya mengontrol kekuasaan negara, sementara Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa solidaritas sosial adalah pondasi masyarakat yang sejahtera.
Melalui pendekatan yang saling melengkapi ini, konsep negara ideal tidak hanya bertumpu pada kebebasan individu, tetapi juga pada keseimbangan nilai-nilai kolektif. Dengan demikian, pembelajaran dari tradisi intelektual yang berbeda ini dapat menjadi panduan berharga dalam membangun sistem pemerintahan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan di masa depan.





