Bijak Kelola Aset Sekolah: Strategi Meningkatkan Mutu Pendidikan di Tengah Keterbatasan Dana

Penulis Bijak Kelola Aset Sekolah: Strategi Meningkatkan Mutu Pendidikan di Tengah Keterbatasan Dana - Haris Kurniawan
Penulis Bijak Kelola Aset Sekolah: Strategi Meningkatkan Mutu Pendidikan di Tengah Keterbatasan Dana - Haris Kurniawan

Pengelolaan aset sekolah selama ini kerap dipandang sebagai urusan administratif yang tidak mendesak. Banyak pemangku pendidikan menganggap tugas utama sekolah terletak pada proses mengajar, sementara fasilitas dianggap pelengkap yang bisa ditangani kemudian.

Padahal, kondisi fisik sekolah memiliki pengaruh langsung terhadap kualitas pembelajaran. Data Kemendikbudristek 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen ruang kelas SD hingga SMA berada dalam kondisi rusak sedang atau berat. Situasi ini memburuk pada 2025, ketika berbagai daerah melaporkan kerusakan tambahan akibat usia bangunan dan minimnya perawatan.

Bacaan Lainnya

Kerusakan semacam ini bukan sekadar persoalan kenyamanan, melainkan menyangkut efektivitas belajar. Ruang kelas yang bocor, meja yang goyah, papan tulis kusam, hingga instalasi listrik tak terawat membuat kegiatan belajar-mengajar tidak berjalan optimal.

Guru kehilangan ruang gerak, siswa sulit berkonsentrasi, dan sekolah terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama dari tahun ke tahun. Ketika kerusakan kecil dibiarkan, biaya perbaikan membengkak, sementara anggaran sekolah tetap terbatas. Dalam kondisi seperti ini, pengelolaan aset seharusnya ditempatkan sebagai fondasi peningkatan mutu pendidikan, bukan sekadar pekerjaan administratif yang diabaikan.

Salah satu persoalan mendasar dalam pengelolaan aset adalah lemahnya sistem pendataan. Banyak sekolah masih mengandalkan buku inventaris manual yang tidak diperbarui secara konsisten. Akibatnya, data sering tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Barang-barang yang sudah rusak bertahun-tahun masih tercatat sebagai layak pakai, sementara peralatan yang digunakan setiap hari tidak tercatat dalam inventaris resmi. Ketidaktepatan data seperti ini menimbulkan berbagai konsekuensi.

Sekolah kerap membeli barang baru karena mengira tidak memiliki stok, padahal barang tersebut sebenarnya ada. Di sisi lain, barang yang rusak tidak segera diperbaiki karena tidak teridentifikasi sebagai prioritas.

Keterbatasan dana operasional menambah rumit persoalan. Dana BOS memang membantu kebutuhan dasar sekolah, tetapi sebagian besar anggarannya dialokasikan untuk kegiatan pembelajaran, administrasi, atau honor pegawai.

Pemeliharaan fasilitas fisik sering kali ditempatkan di urutan terakhir. Padahal, laporan Bank Dunia pada 2020 menegaskan bahwa perawatan rutin mampu mengurangi biaya perbaikan hingga 30 persen per tahun.

Namun, karena tekanan anggaran, sekolah cenderung membiarkan kerusakan kecil hingga menjadi besar dan akhirnya memerlukan biaya jauh lebih tinggi. Pola ini menjadi siklus yang terus berulang dan membuat kondisi sekolah semakin rapuh.

Persoalan lain yang tidak kalah serius adalah minimnya pemahaman mengenai manajemen aset di lingkungan sekolah. Tidak semua kepala sekolah, bendahara, atau petugas tata usaha memahami konsep dasar pengelolaan aset.

Banyak yang menganggapnya sekadar urusan daftar barang, padahal manajemen aset mencakup penilaian umur pakai, keandalan fasilitas, jadwal perawatan, analisis risiko, hingga proyeksi kebutuhan anggaran di masa depan.

Tanpa pemahaman ini, keputusan yang diambil sering tidak tepat sasaran. Kesalahan pencatatan baru diketahui ketika terjadi kerusakan parah atau kehilangan barang. Minimnya transparansi juga menyulitkan pengawasan, sehingga potensi pemborosan atau kesalahan administrasi kerap tidak terdeteksi.

Keterbatasan teknologi semakin memperlebar jurang persoalan. Meskipun sejumlah sekolah telah mencoba menggunakan aplikasi sederhana, sebagian besar masih mengandalkan pencatatan manual yang rawan hilang dan sulit diperbarui.

Padahal, penggunaan spreadsheet atau aplikasi inventaris gratis sudah cukup memadai untuk kebutuhan dasar. Sistem digital memungkinkan sekolah memantau kondisi barang secara cepat, membuat catatan lebih rapi, serta menentukan prioritas perawatan dengan lebih objektif. Digitalisasi ini tidak selalu membutuhkan perangkat mahal atau pelatihan intensif, tetapi berkaitan dengan kemauan untuk memperbarui cara kerja.

Meski penuh tantangan, pengelolaan aset sebenarnya dapat dilakukan secara efektif bahkan dengan dana terbatas. Salah satu langkah paling sederhana dan strategis adalah beralih ke inventaris digital. Spreadsheet dapat digunakan untuk mencatat jenis barang, kondisi, lokasi, tahun pembelian, nilai aset, hingga jadwal perawatan.

Pengalaman sebuah SD di Sleman menunjukkan bahwa pencatatan digital mampu mengurangi biaya perawatan hingga 20 persen. Kerapian data membantu sekolah mengetahui barang mana yang perlu diperbaiki segera dan mana yang bisa menunggu, sekaligus mencegah pembelian yang tidak perlu.

Selain itu, perawatan rutin harus dipahami sebagai investasi jangka panjang. Kerusakan besar hampir selalu berawal dari kerusakan kecil yang diabaikan, seperti engsel pintu yang longgar, ventilasi tersumbat, kabel listrik yang mulai aus, atau proyektor berdebu.

Jika semua ini diperiksa secara berkala, umur pakai aset dapat diperpanjang dan potensi bahaya dapat diminimalkan. Biaya pemeliharaan kecil yang dikeluarkan secara berkala jauh lebih murah dibanding biaya perbaikan besar yang harus ditanggung jika kerusakan terlanjur parah.

Pemahaman ini perlu ditanamkan di setiap jenjang manajemen sekolah agar perawatan tidak terus-menerus dianggap sebagai beban, melainkan bagian krusial dari pengelolaan sekolah.

Partisipasi warga sekolah juga memegang peranan penting. Pengelolaan aset tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada satu atau dua orang. Guru, siswa, dan komite sekolah dapat dilibatkan dalam menjaga fasilitas. Beberapa sekolah menerapkan model “adopsi aset”, di mana setiap kelas atau kelompok siswa bertanggung jawab atas kebersihan dan ketertiban area tertentu.

Pendekatan semacam ini tidak hanya mengurangi tingkat kerusakan, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap fasilitas sekolah. Ketika warga sekolah memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan belajar, tingkat vandalisme menurun dan biaya pemeliharaan dapat ditekan.

Transparansi anggaran dan laporan aset juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pengelolaan yang efektif. Keterbukaan dalam penyusunan laporan inventaris dan penggunaan dana memudahkan pengawasan oleh guru, komite, dan masyarakat.

Sekolah yang transparan lebih mudah mendapatkan dukungan eksternal karena menunjukkan akuntabilitas yang jelas. Ketika laporan aset tersaji secara terbuka, peluang terjadinya pemborosan dapat ditekan dan kepercayaan publik meningkat.

Di sisi lain, sekolah perlu lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif untuk perbaikan fasilitas. Kolaborasi dengan perusahaan melalui program CSR, lembaga sosial, maupun alumni dapat menjadi peluang besar.

Sebuah madrasah di Surabaya berhasil merenovasi laboratorium berkat dukungan alumni yang peduli terhadap mutu pendidikan di daerahnya. Kolaborasi seperti ini dapat berkembang jika sekolah dapat menunjukkan rencana kebutuhan yang jelas dan memiliki tata kelola keuangan yang transparan.

Jika melihat kondisi di lapangan, urgensi pengelolaan aset semakin tampak jelas. Pada 2025, kerusakan ruang kelas di berbagai daerah menunjukkan keseriusan persoalan. Di Sukabumi, tercatat 3.921 ruang kelas SD rusak.

Di Bandung Barat, lebih dari 75 persen ruang kelas SD dan SMP berada dalam kondisi rusak. Di Seluma, siswa SDN 178 bahkan harus belajar di bawah pohon karena bangunan sekolah tidak dapat digunakan. Di Gresik, terdapat 179 ruang kelas SD yang membutuhkan perbaikan. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa kondisi fisik fasilitas pendidikan memiliki dampak langsung terhadap keselamatan, kenyamanan, dan kualitas pembelajaran.

Untuk memperkaya perspektif, sejumlah praktik dari negara maju dapat menjadi rujukan. Finlandia, misalnya, menerapkan sistem manajemen siklus hidup bangunan sekolah. Pemerintah daerah diwajibkan melakukan inspeksi fisik dua kali setahun, dan seluruh data dimasukkan dalam sistem nasional yang mencatat kondisi bangunan, umur pakai, serta estimasi biaya perbaikan. Pendekatan berbasis data ini memastikan kerusakan tidak dibiarkan membesar dan memudahkan perencanaan anggaran.

Jepang memiliki tradisi gakko soji, yaitu kegiatan membersihkan sekolah oleh siswa setiap hari. Budaya ini bukan sekadar praktik pendidikan karakter, tetapi bagian dari strategi manajemen aset yang efektif. Fasilitas sekolah di Jepang tetap terjaga tanpa biaya besar karena warga sekolah terbiasa merasa memiliki lingkungan belajar mereka.

Sementara itu, Korea Selatan menerapkan teknologi sensor untuk memantau kondisi bangunan. Sensor dipasang pada dinding, plafon, hingga struktur utama untuk mengukur kelembapan, suhu, dan keretakan. Sistem ini memberikan peringatan dini sehingga kerusakan kecil dapat segera diperbaiki sebelum menjadi lebih besar dan memerlukan biaya besar.

Ketiga contoh tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan aset sekolah tidak hanya bergantung pada besarnya anggaran, tetapi pada konsistensi kebiasaan merawat, pencatatan yang rapi, dan pemanfaatan teknologi yang tepat. Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar menerapkan praktik serupa, terutama pada sekolah-sekolah yang sudah memiliki akses internet memadai.

Keseluruhan pengalaman tersebut memberikan pelajaran penting bahwa pengelolaan aset sekolah adalah faktor kunci yang menentukan mutu pendidikan. Dana yang besar tidak akan berarti jika tidak didukung dengan sistem pencatatan yang baik, budaya perawatan yang konsisten, dan perencanaan yang matang.

Sebaliknya, keterbatasan dana bukan alasan untuk membiarkan fasilitas sekolah terus merosot. Banyak langkah sederhana dan terencana dapat dilakukan untuk menjaga fasilitas tetap layak.

Sekolah perlu mulai membangun tata kelola aset yang lebih rapi, terbuka, dan berbasis data. Inventaris digital dapat menjadi langkah awal yang realistis dan murah. Perawatan rutin harus ditempatkan sebagai prioritas, bukan beban tambahan.

Pelatihan bagi kepala sekolah dan bendahara mengenai manajemen aset penting dilakukan agar pengelolaan semakin profesional. Transparansi laporan perlu diperkuat untuk mendapatkan kepercayaan publik dan memperluas dukungan eksternal. Melibatkan warga sekolah serta menjalin kolaborasi dengan alumni atau pihak swasta juga dapat memperkuat kapasitas perawatan fasilitas.

Pengelolaan aset yang bijak bukan hanya soal efisiensi anggaran. Lebih dari itu, ia merupakan investasi strategis untuk memastikan siswa belajar dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan bermartabat. Dengan langkah-langkah yang realistis, terencana, dan melibatkan semua pihak, mutu pendidikan dapat ditingkatkan tanpa harus menunggu hadirnya anggaran besar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *