Jika kamu pernah menghadiri acara hajatan atau pesta rakyat di Jawa Timur, besar kemungkinan kamu telah menyaksikan budaya horeg secara langsung. Horeg bukan sekadar tarian spontan atau bentuk hiburan semata.
Lebih dari itu, horeg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari adat dan ekspresi sosial masyarakat setempat. Dengan iringan musik yang menghentak dan tarian penuh energi, horeg menjelma sebagai simbol kebersamaan dan pelepasan emosional kolektif.
Namun di balik semaraknya, muncul pertanyaan penting: bagaimana budaya horeg dilihat dari kacamata hukum adat? Adakah batasan atau nilai-nilai yang mengatur jalannya tradisi ini di tengah masyarakat?
Budaya horeg tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari akar tradisi masyarakat agraris yang telah lama hidup berdampingan dengan seni dan kepercayaan kolektif. Sejak masa kerajaan, kesenian rakyat seperti ludruk, reog, jaranan, dan kuda lumping telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat Jawa Timur.
Dalam banyak perayaan seperti panen raya atau ritual bersih desa, tarian spontan yang kini dikenal sebagai horeg mulai muncul sebagai bentuk luapan kegembiraan rakyat.
Seiring berjalannya waktu, horeg berkembang semakin dinamis, terpengaruh oleh musik dangdut koplo, irama orkes melayu, serta penggunaan teknologi audio modern. Namun di tengah transformasi ini, nilai-nilai kolektif tetap menjadi ruh utama dalam setiap ekspresi horeg.
Di berbagai wilayah Jawa Timur, horeg telah menjadi bagian dari ritus sosial yang mengiringi momen-momen penting seperti pernikahan, sunatan, hingga syukuran desa. Tradisi ini bukan hanya wadah untuk bersenang-senang, melainkan juga ajang mempererat solidaritas warga.
Horeg bahkan dianggap sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap tekanan hidup. Di tengah situasi ekonomi yang kadang tidak menentu, horeg menjadi ruang simbolik untuk melepas stres, membangun harapan, serta mengekspresikan identitas kolektif masyarakat desa.
Namun, sebagaimana tradisi lainnya, horeg juga tidak lepas dari potensi gesekan sosial. Di sinilah peran sesepuh adat menjadi sangat krusial.
Sesepuh adat dalam masyarakat Jawa Timur berfungsi sebagai penjaga norma dan pelindung nilai-nilai lokal. Mereka tidak hanya menjadi pengawas jalannya tradisi, tetapi juga penengah konflik ketika muncul perbedaan pandangan terkait pelaksanaan acara.
Salah satu tanggung jawab penting mereka adalah menentukan waktu dan tempat pelaksanaan horeg. Dengan begitu, acara tersebut tidak menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum atau kegiatan sosial keagamaan yang sedang berlangsung.
Misalnya, pemilihan waktu yang tidak bertepatan dengan jadwal sekolah atau kegiatan ibadah, serta lokasi yang jauh dari kawasan rawan konflik atau permukiman padat penduduk.
Selain itu, sesepuh adat juga memberikan pengarahan mengenai tata cara pelaksanaan horeg yang sesuai dengan etika dan nilai-nilai lokal. Para peserta diingatkan untuk menari dengan cara yang sopan, menjaga sikap, serta menghindari perilaku mabuk atau kasar. Pelanggaran terhadap aturan adat ini bisa berujung pada sanksi sosial, seperti teguran terbuka, pengucilan, hingga denda adat.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi dalam pelestarian horeg adalah arus modernisasi. Musik yang keras, penggunaan sound system berkapasitas besar, serta masuknya budaya pop ke dalam tradisi lokal membuat beberapa kalangan mulai mempertanyakan arah horeg ke depan.
Sesepuh adat merespons dengan bijak. Beberapa komunitas mulai menetapkan batasan volume suara, waktu pelaksanaan acara, serta jenis musik yang boleh dimainkan. Tujuannya bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi untuk menjaga keseimbangan antara ekspresi budaya dan ketenangan sosial.
Salah satu contoh menarik adalah pawai sound horeg di Desa Clumprit, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang. Kegiatan ini digelar menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI dan menjadi ajang ekspresi masyarakat dalam menampilkan kreativitas mereka lewat parade musik dan tari.
Namun, suara keras dari sound system besar yang dibawa berkeliling menimbulkan keresahan sebagian warga. Dalam satu kejadian, warga bahkan melapisi kaca jendela mereka dengan lakban karena khawatir getaran suara bisa menyebabkan kaca pecah.
Kasus ini menimbulkan diskusi luas di masyarakat dan media lokal. Apakah kegiatan seperti ini harus dilarang? Atau cukup diatur dengan regulasi tertentu? Di sinilah hukum adat dan hukum negara harus berjalan beriringan dalam menjaga keseimbangan sosial.
Dalam banyak komunitas di Jawa Timur, hukum adat masih memiliki kekuatan moral yang tinggi. Horeg, sebagai bagian dari budaya lokal, tetap harus mengikuti aturan tidak tertulis yang telah menjadi kesepakatan sosial selama bertahun-tahun.
Hukum adat menetapkan norma dan etika sosial yang mengatur batas waktu pelaksanaan, durasi acara, hingga perilaku peserta. Dalam beberapa kasus, pelanggaran seperti mabuk-mabukan atau menimbulkan keributan akan dikenakan sanksi berupa teguran dari tokoh masyarakat, denda, atau bahkan larangan mengikuti acara adat di masa depan.
Namun, beberapa komunitas juga mulai mengadopsi pendekatan yang lebih sinkron dengan hukum formal. Misalnya, dengan mengajukan izin keramaian ke aparat desa atau kepolisian, serta menetapkan standar keamanan dan ketertiban yang berlaku secara resmi. Langkah ini diambil demi menciptakan ruang budaya yang tidak hanya lestari, tetapi juga aman dan inklusif bagi seluruh warga.
Budaya horeg membawa banyak dampak, baik positif maupun negatif. Di sisi positif, horeg menjadi wahana mempererat solidaritas sosial, melestarikan budaya lokal, serta memberikan dampak ekonomi bagi pedagang kecil dan seniman setempat yang terlibat dalam acara tersebut.
Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, horeg dapat menjadi ajang kebisingan berlebihan, penyalahgunaan alkohol, dan memicu konflik nilai dengan kelompok masyarakat yang lebih konservatif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa horeg bukanlah tradisi yang bisa berjalan tanpa pengawasan. Ia memerlukan tata kelola budaya yang melibatkan semua pihak—tokoh adat, pemerintah, dan masyarakat luas.
Budaya horeg adalah warisan penting yang merefleksikan identitas dan semangat gotong royong masyarakat Jawa Timur. Namun, seperti semua bentuk ekspresi budaya, ia memerlukan pengaturan yang bijaksana agar tidak menimbulkan gesekan sosial.
Kasus di Desa Clumprit menjadi pengingat bahwa di balik ekspresi kegembiraan, terdapat tanggung jawab bersama untuk menjaga harmoni. Hukum adat, dengan segala kearifannya, masih memegang peranan sentral dalam menjembatani antara semangat tradisi dan tuntutan zaman.
Maka, menjaga horeg tetap hidup bukan hanya tugas para pelestari budaya, tetapi juga semua elemen masyarakat yang percaya bahwa kebudayaan adalah jantung kehidupan bersama.