Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman budaya yang luar biasa. Setiap daerah memiliki adat istiadat yang menjadi ciri khas identitas masyarakatnya. Salah satu tradisi yang mengundang perhatian, sekaligus kontroversi, adalah tradisi potong jari yang masih dipraktikkan oleh sebagian komunitas adat di Papua, khususnya oleh Suku Dani dan Suku Asmat.
Dalam budaya mereka, memotong jari merupakan bentuk ekspresi kesedihan yang mendalam atas kepergian anggota keluarga. Lebih dari sekadar tindakan fisik, praktik ini mencerminkan loyalitas dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal.
Namun demikian, ketika tradisi ini dihadapkan pada norma-norma hukum nasional, muncul dilema yang cukup kompleks. Bagaimana seharusnya negara menyikapi praktik budaya yang sudah berlangsung turun-temurun, namun berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia?
Sebagai mahasiswa yang mempelajari hukum adat, saya berpandangan bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai sosial yang melandasi tradisi ini sangat penting. Tradisi potong jari bukanlah fenomena yang bisa dilihat secara hitam-putih.
Ia adalah bagian dari sistem budaya yang telah diwariskan sejak lama dan melekat kuat dalam kehidupan masyarakat adat Papua. Namun, perkembangan zaman memunculkan pertanyaan: apakah tradisi ini masih relevan dan layak dipertahankan, jika berisiko menyakiti pelakunya secara fisik maupun psikis?
Dalam kerangka hukum modern, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak dasar setiap warga negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental.
Oleh karena itu, apabila praktik potong jari dilakukan atas dasar tekanan sosial atau tanpa persetujuan yang sepenuhnya sadar, maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi.
Dilema ini tidak hanya terletak pada ranah hukum, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan budaya. Negara tidak boleh serta merta menghapus tradisi, namun juga tidak bisa membiarkan praktik yang membahayakan individu tetap berlangsung. Di sinilah pentingnya menemukan titik keseimbangan antara pelestarian budaya dan perlindungan hak individu.
Dalam hukum adat, dikenal konsep Receptio in Complexu, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum adat dapat berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum negara. Konsep ini menempatkan hukum nasional sebagai kerangka utama, dengan hukum adat sebagai pelengkap yang harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Jika merujuk pada teori ini, maka praktik potong jari meskipun masih sah secara budaya, dapat dinyatakan tidak berlaku jika terbukti membahayakan atau melanggar hukum nasional.
Namun penerapan teori ini tidak boleh bersifat represif. Pelarangan yang dilakukan tanpa dialog hanya akan menimbulkan resistensi dari masyarakat adat. Negara perlu bertindak sebagai mediator yang menjembatani dua kepentingan: pelestarian budaya dan penegakan hukum.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain menginisiasi transformasi tradisi menjadi bentuk yang lebih aman, seperti mengganti potong jari dengan potong rambut, penggunaan pakaian khusus, atau ritual simbolis lain yang tidak membahayakan.
Selain itu, pendekatan edukatif juga harus diutamakan. Pemerintah, bersama organisasi masyarakat, perlu aktif menyosialisasikan pentingnya hak individu serta menanamkan pemahaman bahwa tradisi tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk fisik yang ekstrem. Budaya bisa berubah dan tetap bermakna apabila penyesuaian dilakukan secara arif dan partisipatif.
Kesalahan yang sering terjadi dalam proses perubahan hukum adat adalah ketika masyarakat adat hanya dijadikan objek kebijakan. Padahal, perubahan paling efektif justru datang dari komunitas itu sendiri.
Oleh sebab itu, keterlibatan tokoh adat dan perwakilan masyarakat lokal dalam proses pembuatan kebijakan adalah syarat mutlak. Pemerintah daerah dan lembaga adat perlu menjalin kerja sama yang erat dalam merumuskan solusi, sehingga tradisi tetap bisa dijaga tanpa menimbulkan korban.
Kita juga perlu mengubah paradigma bahwa hukum dan budaya adalah dua kutub yang saling berseberangan. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, hukum dan budaya justru harus berjalan berdampingan.
Dalam kasus potong jari, tidak perlu ada dikotomi antara pelestarian atau penghapusan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang inklusif dan penuh empati.
Konsep Receptio in Complexu memberikan ruang bagi pelestarian adat dengan syarat tetap sejalan dengan hukum nasional. Ini membuktikan bahwa hukum adat tidak harus ditinggalkan, tetapi bisa diadaptasi.
Pelestarian budaya bukanlah ancaman terhadap hukum, selama ada niat bersama untuk menyesuaikan dan menghindari dampak negatif terhadap individu.
Sebagai generasi muda yang sedang menekuni ilmu hukum, kita memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk menjadikan hukum sebagai sesuatu yang hidup dan responsif terhadap konteks sosial. Kita harus mampu memahami praktik-praktik tradisional secara lebih mendalam, lalu merumuskan kebijakan hukum yang tidak menafikan identitas budaya, namun juga menjaga keselamatan dan martabat manusia.





