Isu perubahan iklim terus menjadi perhatian global, terutama akibat kenaikan suhu yang semakin signifikan setiap tahunnya. Data mencatat bahwa sepanjang Februari 2023 hingga Januari 2024, suhu pemanasan global meningkat hingga 1,52°C, melampaui ambang batas 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris.
Peningkatan suhu ini terutama dipicu oleh penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim, transisi energi hijau menjadi solusi yang diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Salah satu langkah yang diambil adalah pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk menghasilkan biomassa sebagai pengganti batu bara. Namun, muncul pertanyaan: apakah HTE benar-benar solusi berkelanjutan, atau justru menambah masalah baru?
Australia menjadi salah satu negara yang pernah mengandalkan biomassa dari hutan sebagai sumber energi. Namun, kebijakan tersebut kemudian ditinggalkan. Pemerintah Australia menghapus biomassa dari daftar energi terbarukan, menjadikan negara ini anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pertama yang menolak biomassa hasil hutan. Kebijakan ini mencerminkan komitmen Australia terhadap konservasi hutan, termasuk larangan alih fungsi hutan alam menjadi perkebunan energi.
Sebaliknya, Indonesia justru baru menggagas HTE sebagai bagian dari transisi energi. Pemerintah Indonesia memanfaatkan potensi biomassa untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Melalui berbagai regulasi, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021, pemerintah membuka peluang pemanfaatan kawasan hutan alam untuk keperluan energi. Langkah ini dinilai strategis untuk mendukung ketahanan energi, meskipun banyak pihak mempertanyakan dampaknya terhadap lingkungan.
Salah satu contoh implementasi HTE di Indonesia terjadi di Jambi, di mana PT Hijau Artha Nusa (HAN) mendapat izin konsesi seluas 32.620 hektare untuk proyek biomassa. Perusahaan ini menanam kayu sengon (Albizia chinensis) sebagai bahan baku wood pellet, yang kemudian digunakan sebagai campuran batu bara di PLTU atau bahan bakar penghangat ruangan. Sayangnya, proyek ini memicu berbagai masalah, termasuk konflik lahan dengan masyarakat lokal, kerusakan habitat satwa, dan bencana ekologis.
Baca Juga: Terjebak Dalam Layar: Mengapa Media Sosial Sekarang Terasa Sangat Candu?
Dalam praktiknya, PT HAN dinilai gagal menerapkan prinsip keberlanjutan lingkungan (ESG). Lebih buruk lagi, biomassa yang dihasilkan lebih banyak diekspor ke Korea Selatan, sehingga manfaatnya bagi kebutuhan energi domestik Indonesia sangat minim. Meskipun perusahaan ini menghentikan operasinya pada 2023, dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat tetap terasa.
Pengembangan HTE di kawasan hutan alami menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya deforestasi. Data Forest Watch Indonesia (FWI) 2023 memproyeksikan deforestasi akibat pemanfaatan biomassa kayu mencapai 4,65 juta hektare.
Selain itu, kebijakan FoLU Net Sink 2030 yang mendorong ekspansi HTE hingga 6 juta hektare berpotensi mengancam hutan alam yang tersisa. FWI juga mencatat bahwa pengembangan HTE telah menyebabkan hilangnya 55 ribu hektare hutan dan mengancam 420 ribu hektare hutan alam di 31 konsesi perusahaan.
Ironisnya, meskipun biomassa digadang-gadang sebagai energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan batu bara, pembukaan hutan alami untuk HTE justru berkontribusi pada perubahan iklim.
Baca Juga: Generasi Anti Perundungan Menuju Indonesia Emas
Pengorbanan hutan alam untuk proyek biomassa hanya menciptakan ilusi transisi energi yang berkelanjutan. Selain itu, konflik lahan yang sering kali menyertai proyek HTE merampas ruang hidup masyarakat lokal, khususnya kelompok marginal.
Hutan tanaman energi pada dasarnya memiliki potensi untuk mendukung transisi energi hijau. Namun, jika pelaksanaannya mengorbankan hutan alami dan tidak menjamin keberlanjutan, maka manfaatnya menjadi tidak sebanding dengan kerugiannya. Kebijakan pemerintah perlu lebih selektif dan mempertimbangkan dampak jangka panjang, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat.
Belajar dari pengalaman Australia, Indonesia seharusnya tidak hanya fokus pada pengembangan HTE, tetapi juga memperkuat regulasi untuk melindungi hutan alam. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan. Dengan pendekatan yang lebih bijak, HTE dapat menjadi solusi, bukan bencana, bagi masa depan energi terbarukan di Indonesia.





