Fenomena bahasa gaul Jaksel atau Jaksel slang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian besar anak muda perkotaan, khususnya mereka yang aktif di media sosial. Ungkapan seperti “Gue tuh literally nggak ngerti sama dia” atau “Dia tuh kayak really annoying deh” terdengar begitu akrab di telinga masyarakat urban.
Campuran bahasa Inggris dan Indonesia ini dianggap sebagai simbol kekinian, modernitas, bahkan kerap dikaitkan dengan status sosial tertentu. Namun, di balik tren ini, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah ini sekadar gaya bicara, atau justru mencerminkan pengikisan terhadap identitas bahasa nasional kita?
Sebagai seorang akademisi, penulis melihat fenomena ini sebagai cerminan dari krisis kepercayaan terhadap bahasa sendiri. Generasi muda seolah merasa lebih percaya diri saat menyisipkan istilah-istilah bahasa Inggris dalam percakapan, seakan-akan bahasa Indonesia tidak cukup “gaul” atau memiliki prestise yang sama.
Kondisi ini mengkhawatirkan, bukan hanya karena adanya percampuran bahasa, tetapi lebih karena perubahan sikap yang terjadi: dari rasa bangga terhadap bahasa ibu menjadi rasa bangga karena mampu menjauhinya.
Bahasa memang merupakan alat komunikasi, tetapi lebih dari itu, ia juga merupakan representasi cara berpikir, nilai-nilai budaya, serta identitas suatu bangsa. Ketika generasi muda lebih memilih mengekspresikan dirinya dengan bahasa asing, bahkan dalam konteks informal sekalipun, hal itu mencerminkan terjadinya pergeseran nilai budaya.
Fenomena code-switching memang lazim terjadi dalam masyarakat multibahasa dan bisa memperkaya komunikasi. Namun, penggunaan yang berlebihan tanpa kontrol dapat mengacaukan struktur, mengaburkan makna, dan menghilangkan kejelasan pesan yang ingin disampaikan.
Syamsuddin (1986) menekankan bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan pikiran dan perasaan, melainkan juga merupakan penanda kepribadian dan kemanusiaan. Ketika fungsi bahasa Indonesia direduksi menjadi alat komunikasi formal saja, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai pembentuk jati diri bangsa terancam untuk ditinggalkan.
Dalam konteks linguistik, Jaksel slang dapat dikategorikan sebagai ragam bahasa slang, yakni bahasa yang berkembang tanpa mengikuti struktur baku dan lebih bersifat fleksibel. Nurhasanah (2014) menjelaskan bahwa slang muncul sebagai bentuk adaptasi sosial terhadap lingkungan urban.
Balqis et al. (2023) turut menguatkan bahwa slang lahir dari kebutuhan kelompok sosial tertentu untuk menegaskan identitasnya. Rusydah (2020) menyatakan bahwa fenomena bahasa Jaksel mulai populer sejak 2018, didorong oleh rasa bangga terhadap bahasa asing, tuntutan sosial, dan keinginan untuk memperkaya perbendaharaan kata.
Namun, kebanggaan yang berlebihan terhadap bahasa asing hingga mengesampingkan bahasa nasional menimbulkan kekhawatiran yang serius. Keterbukaan terhadap globalisasi seharusnya memperkuat identitas lokal, bukan sebaliknya. Kemampuan berbahasa asing memang penting, tetapi bukan alasan untuk menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang usang atau tidak lagi relevan.
Hal lain yang menjadi sorotan dari fenomena ini adalah munculnya kesan eksklusivitas dalam berkomunikasi. Tidak semua orang memahami campuran bahasa yang digunakan, sehingga menimbulkan kesenjangan komunikasi.
Dalam konteks ini, bahasa justru berpotensi memisahkan, bukan menyatukan. Mereka yang tidak memahami gaya bahasa Jaksel bisa merasa tersisih dan tidak dianggap bagian dari kelompok sosial yang “kekinian.” Padahal, fungsi utama bahasa adalah menyatukan masyarakat dalam satu ruang komunikasi yang inklusif.
Namun, tentu tidak adil jika kita sepenuhnya menyalahkan anak muda yang menggunakan Jaksel slang. Dalam dinamika sosial, generasi muda akan selalu mencari bentuk identitas dan cara untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya.
Yang perlu ditekankan adalah pentingnya kesadaran kritis dalam memilih bahasa. Pilihan bahasa bukan sekadar soal gaya, melainkan juga merupakan refleksi dari sikap terhadap budaya dan jati diri bangsa.
Menurut data dari BPS tahun 2022 yang dikutip oleh laman goodstats.id, generasi milenial adalah kelompok yang paling mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Ini menandakan bahwa potensi dan kemampuan itu ada, tetapi perlu ditumbuhkan rasa bangga untuk menggunakannya secara aktif dalam berbagai konteks, tidak hanya dalam acara formal atau saat ujian sekolah.
Lebih lanjut, menurut DPR RI pada Juni 2023, bahasa Indonesia telah digunakan oleh lebih dari 278 juta orang di dunia. Ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga telah diakui secara internasional. Maka dari itu, kita sebagai penutur aslinya memiliki tanggung jawab untuk merawat, melestarikan, dan mengembangkan bahasa ini dengan rasa bangga.
Pertanyaan apakah Jaksel slang merusak atau memperkaya bahasa Indonesia sebetulnya tidak bisa dijawab secara hitam-putih. Semua bergantung pada konteks penggunaan dan kesadaran para penuturnya.
Bila digunakan secara bijak dan terbatas dalam ruang sosial tertentu, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun bila menjadi kebiasaan yang tidak terkendali dan mengikis keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara utuh dan benar, maka hal ini patut menjadi perhatian serius.
Menguasai bahasa asing adalah keunggulan. Namun, mencintai bahasa sendiri adalah kewajiban. Generasi muda hari ini bukan hanya pewaris bahasa Indonesia, tetapi juga penjaga dan penentunya di masa depan.
Mari gunakan bahasa Indonesia dengan bangga, tanpa harus kehilangan identitas dalam menghadapi dunia global. Karena sejatinya, bangga itu bukan hanya soal bisa speak English well, tetapi juga soal mampu berbahasa Indonesia dengan indah, fasih, dan bermakna.





