Keberhasilan atau kegagalan sebuah perusahaan sering kali ditentukan oleh kemampuan dalam membuat keputusan yang tepat. Meski demikian, banyak yang lupa bahwa keputusan kecil yang diabaikan atau tidak terkontrol dengan baik juga dapat menjadi awal dari masalah besar. Kasus Jiwasraya adalah salah satu contoh nyata bagaimana pengelolaan risiko yang buruk dapat membawa dampak destruktif.
Ketidakmampuan dalam mengawasi risiko klaim asuransi tidak hanya menyebabkan kebangkrutan perusahaan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap industri asuransi. Ini menjadi pengingat pentingnya pengendalian internal yang efektif untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan perusahaan.
Pengendalian internal bukan hanya soal prosedur teknis. Lebih dari itu, ia mencerminkan nilai-nilai etika dan prinsip tata kelola perusahaan yang kokoh. Sayangnya, sering kali perusahaan menganggap remeh pentingnya audit internal yang menyeluruh.
Padahal, audit ini tidak hanya bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga untuk mendeteksi potensi risiko sejak dini. Ketika pengendalian internal diabaikan, perusahaan rentan terhadap kerugian finansial, reputasi, dan kehilangan kepercayaan pemangku kepentingan.
Baca Juga: Optimalisasi APBN dan Pemanfaatan Aset Desa
Kasus Jiwasraya mengajarkan pentingnya pendekatan proaktif dalam manajemen risiko. Sistem pengendalian internal yang baik seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mendeteksi kecurangan, tetapi juga sebagai landasan strategis dalam memitigasi risiko secara efektif.
Sebuah perusahaan yang gagal membangun pengendalian internal yang kuat akan menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas keuangan dan operasionalnya, terutama di tengah tekanan pasar global.
Penerapan kerangka kerja ESG (Environmental, Social, and Governance) dan pelaporan non-keuangan menambah dimensi baru dalam pengelolaan perusahaan modern. Hal ini membutuhkan pengendalian internal yang lebih adaptif untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keberlanjutan sekaligus melindungi aset perusahaan.
Teknologi dapat menjadi sekutu utama dalam membangun sistem yang efisien, namun teknologi tanpa strategi yang jelas tetap akan menghasilkan kelemahan.
Keputusan kecil sering kali menjadi awal dari perubahan besar. Langkah kecil yang dilakukan dengan benar dapat menjadi fondasi kokoh bagi keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang.
Sebaliknya, mengabaikan detail kecil dalam sistem pengendalian internal dapat memicu masalah besar yang berujung pada kerugian besar, seperti yang terjadi pada Jiwasraya.
Pelajaran dari kasus ini menegaskan bahwa kesuksesan bisnis tidak hanya bergantung pada keputusan besar, tetapi juga pada perhatian terhadap detail kecil yang membentuk keseluruhan proses. Dengan membangun sistem pengendalian internal yang kuat dan konsisten, perusahaan dapat memastikan bahwa setiap keputusan, baik besar maupun kecil, memberikan kontribusi positif terhadap keberlanjutan dan pertumbuhan perusahaan.





