Hak atas pendidikan merupakan hak fundamental yang dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 26) dan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
Di tingkat nasional, Indonesia telah menegaskan komitmen ini melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan akses pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas masih menghadapi tantangan serius yang memerlukan perhatian bersama.
Kesenjangan Partisipasi
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mengungkapkan tingkat partisipasi kasar (TPK) penyandang disabilitas dalam pendidikan tinggi hanya mencapai 4,8%, jauh di bawah TPK non-disabilitas yang mencapai 31,5%. Perbedaan signifikan ini mencerminkan adanya ketimpangan akses yang belum teratasi.
Salah satu faktor penyebabnya adalah keterbatasan fasilitas dan infrastruktur. Menurut survei UNESCO (2022), hanya 20% perguruan tinggi di Indonesia yang menyediakan fasilitas ramah disabilitas, seperti jalur khusus kursi roda, lift aksesibilitas, dan bahan ajar dalam format braille.
Selain hambatan fisik, stigma sosial dan diskriminasi juga menjadi penghalang besar. Penelitian Pusat Studi Disabilitas Universitas Indonesia (2021) mencatat bahwa 35% mahasiswa disabilitas mengalami perlakuan diskriminatif dari lingkungan kampus, baik dari sesama mahasiswa maupun tenaga pengajar. Diskriminasi ini tidak hanya berdampak pada proses belajar, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental mereka.
Tantangan yang Dihadapi
Tantangan lain yang menghambat akses pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas adalah kurangnya kebijakan inklusif di perguruan tinggi. Kajian Kemendikbudristek (2022) menunjukkan 70% perguruan tinggi belum memiliki kebijakan mendukung, seperti pendamping belajar atau sistem evaluasi yang disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa disabilitas.
Selain itu, minimnya dukungan finansial, seperti beasiswa khusus, memperburuk kesenjangan ini. Tanpa dukungan yang memadai, mahasiswa disabilitas sering kali kesulitan menyelesaikan pendidikan mereka.
Baca Juga: Mungkinkah Dunia Tanpa Kemiskinan? Mengungkap Realitas Ketimpangan Sosial yang Kian Mengkhawatirkan
Hambatan lainnya adalah keterbatasan informasi tentang layanan khusus yang tersedia di perguruan tinggi. Banyak penyandang disabilitas tidak mengetahui adanya program dukungan akademik, teknologi bantu pembelajaran, atau layanan interpretasi bahasa isyarat. Kondisi ini membuat mereka merasa terkucil dan sulit beradaptasi dengan lingkungan kampus.
Dampak Kesenjangan
Akses yang tidak setara terhadap pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga menghambat pembangunan sumber daya manusia yang inklusif.
Laporan Bank Dunia (2022) mencatat penyandang disabilitas tanpa pendidikan tinggi memiliki risiko pengangguran 1,5 kali lebih besar dibandingkan non-disabilitas. Hal ini memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi, serta menghalangi mereka untuk berkontribusi secara optimal dalam pembangunan bangsa.
Langkah Menuju Inklusi
Mengatasi tantangan ini membutuhkan komitmen dari berbagai pihak. Perguruan tinggi harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur ramah disabilitas. Fasilitas seperti jalur landai, lift, toilet khusus, dan ruang kuliah yang dapat diakses harus menjadi standar di setiap institusi pendidikan tinggi. Selain itu, teknologi bantu pembelajaran, seperti perangkat lunak pembaca layar, perlu disediakan untuk membantu mahasiswa disabilitas dalam kegiatan akademik mereka.
Baca Juga: Wajah Buram di Balik Surga: Bisnis Udang Hancurkan Ekosistem Karimunjawa
Perguruan tinggi juga harus memperkuat kebijakan inklusif, seperti penerapan sistem evaluasi yang fleksibel dan penyediaan pendamping belajar. Kebijakan ini harus dibarengi dengan edukasi kepada komunitas kampus untuk mengurangi stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.
Kampus dapat mengadakan pelatihan bagi dosen dan staf mengenai pendekatan pembelajaran inklusif, sehingga mahasiswa disabilitas dapat memperoleh perlakuan setara.
Peningkatan akses terhadap informasi juga menjadi langkah penting. Informasi mengenai layanan khusus dan program dukungan harus disampaikan secara jelas dan mudah diakses. Media komunikasi yang ramah disabilitas, seperti situs web dengan fitur aksesibilitas atau brosur dalam format braille, perlu disediakan untuk memastikan semua mahasiswa memiliki pemahaman yang sama.
Peran Pemerintah dan Komunitas
Pemerintah memiliki peran kunci dalam memastikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas. Kebijakan afirmatif, seperti alokasi anggaran untuk pengadaan fasilitas ramah disabilitas, harus diperkuat.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong perguruan tinggi untuk mengadopsi pendekatan inklusif dalam sistem penerimaan mahasiswa baru. Insentif bagi institusi yang berhasil menciptakan lingkungan inklusif juga dapat menjadi motivasi tambahan.
Baca Juga: Marriage-Free Jadi Pilihan Gen Z?
Di sisi lain, masyarakat luas memiliki tanggung jawab untuk mendukung keberlanjutan inklusi. Kampanye kesadaran tentang pentingnya inklusi sosial harus digencarkan untuk menghilangkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Dengan memahami potensi besar yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, masyarakat dapat berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Memastikan hak penyandang disabilitas terhadap pendidikan tinggi bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga langkah strategis untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan akses yang setara, penyandang disabilitas dapat mengembangkan potensi mereka secara maksimal, menjadi individu yang mandiri, dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Kerja sama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang inklusif dan berkeadilan. Hanya dengan upaya bersama, hak atas pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas dapat diwujudkan secara nyata.





