Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi digital semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Anak muda sering dipersepsikan sebagai generasi yang “melek teknologi.” Memang benar bahwa mereka terampil menggunakan media sosial, mengunduh aplikasi, atau bahkan menciptakan konten viral.
Namun, apakah keterampilan ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang literasi digital? Sayangnya, data dan fenomena di lapangan mengungkapkan realitas yang berbeda: banyak anak muda lebih mahir sebagai pengguna daripada pemikir kritis.
Di era digital ini, informasi adalah kekuatan. Namun, tanpa pemahaman literasi digital yang baik, kekuatan tersebut bisa menjadi pisau bermata dua: memberikan manfaat sekaligus ancaman. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan literasi digital yang memadai menjadi rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan siber, seperti penipuan online, penyebaran ujaran kebencian, hingga manipulasi opini publik.
Generasi muda, sebagai pengguna aktif media sosial, memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Namun, tanpa bekal literasi yang cukup, mereka justru dapat menjadi bagian dari permasalahan yang ada.
Menurut UNESCO, literasi digital mencakup kemampuan mencari, mengevaluasi, menggunakan, dan menciptakan informasi secara etis dan bertanggung jawab. Meski demikian, survei Safer Internet pada 2024 menunjukkan bahwa sekitar 78,1% Gen Z cenderung mempercayai hoaks. Fakta ini menegaskan bahwa keterampilan teknis menggunakan teknologi tidak selalu sejalan dengan kemampuan berpikir kritis dalam memahami dan memvalidasi informasi.
Fenomena hoaks yang terus menyebar melalui media sosial menjadi ancaman nyata. Penelitian dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) mencatat bahwa 78% hoaks di Indonesia berasal dari media sosial dan mayoritas disebarkan tanpa verifikasi lebih lanjut.
Dalam konteks ini, literasi digital menjadi krusial, terutama di era kecerdasan buatan (AI), di mana informasi dapat menyebar dengan sangat cepat. Kemampuan untuk membedakan antara informasi yang benar dan salah menjadi tantangan besar.
Selain itu, kemajuan AI seperti chatbot berbasis GPT dan algoritma media sosial turut memperparah krisis literasi digital. Algoritma dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna tanpa memeriksa kebenarannya.
Akibatnya, anak muda sering terjebak dalam filter bubble atau echo chamber, yang hanya memperkuat keyakinan terhadap informasi yang mungkin tidak benar. Teknologi seperti deepfake juga semakin menyulitkan pemisahan antara fakta dan kebohongan, karena manipulasi foto, video, dan audio dapat dilakukan dengan sangat meyakinkan.
Baca Juga: Pengangguran: Potret Buruk Pendidikan di Indonesia
Pendidikan menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah ini. Literasi digital perlu diajarkan sejak dini, tidak hanya sebagai bagian dari pelajaran teknologi, tetapi juga terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran lain. Guru memiliki peran penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, seperti mengajarkan cara mengevaluasi informasi secara objektif.
Di sisi lain, pemerintah dan platform teknologi juga harus berperan aktif. Pemerintah dapat menyusun kebijakan yang mendorong literasi digital sebagai prioritas nasional. Sementara itu, perusahaan teknologi dapat menyediakan alat dan sumber daya yang membantu masyarakat memahami serta menyaring informasi secara efektif.
“Kolaborasi antar pihak sangat penting untuk membangun ekosistem digital yang sehat dan bertanggung jawab,” ujar Yoshefine Maharani Herwienda, seorang pengamat teknologi digital.
Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung literasi digital. Budaya membaca, diskusi terbuka yang sehat, serta peningkatan kesadaran akan pentingnya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya harus terus didorong. Literasi digital tidak hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga kewajiban moral untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan berintegritas.
Baca Juga: Kompetensi atau Ijazah: Mana yang Lebih Penting di Era Digital?
Di dunia yang semakin kompleks oleh perkembangan teknologi, kemampuan untuk memahami, memvalidasi, dan menggunakan informasi secara bijaksana adalah keterampilan yang tidak bisa ditawar.
“Generasi muda harus diarahkan untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menjadi individu yang bijak dalam memanfaatkannya untuk menciptakan dampak positif,” tegas Yoshefine.
Kolaborasi semua pihak, mulai dari pemerintah, pendidik, hingga masyarakat, menjadi kunci untuk menghadirkan generasi yang tidak hanya “melek teknologi” tetapi juga mampu menjadikan teknologi sebagai alat untuk memperjuangkan kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan. Saatnya kita bersama-sama membangun dunia digital yang lebih baik, di mana informasi digunakan untuk menciptakan kebaikan dan melindungi integritas masyarakat.





