Perubahan paradigma pendidikan nasional melalui implementasi Kurikulum Merdeka membawa banyak implikasi, terutama dalam praktik pembelajaran dan evaluasi Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah.
Kurikulum ini menekankan pembelajaran yang berdiferensiasi, berpusat pada siswa, serta menumbuhkan karakter dan profil pelajar Pancasila. Namun, muncul pertanyaan krusial: apakah sistem evaluasi pembelajaran PAI yang saat ini diterapkan sudah benar-benar selaras dengan semangat kurikulum tersebut?
Pertanyaan ini tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat PAI tidak hanya memuat aspek kognitif, tetapi juga menyentuh ranah pembentukan akhlak dan sikap religius siswa. Evaluasi yang hanya berfokus pada aspek pengetahuan tanpa mempertimbangkan aspek afektif dan psikomotorik akan menghasilkan ketimpangan antara penguasaan materi dengan pengamalan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan nyata.
Selama ini, evaluasi pembelajaran PAI di banyak sekolah masih didominasi oleh pendekatan konvensional seperti tes tulis, pilihan ganda, dan esai. Evaluasi semacam ini cenderung hanya mengukur kemampuan kognitif siswa dalam mengingat dan memahami materi agama.
Misalnya, siswa diminta menyebutkan rukun iman atau menjelaskan pengertian toharah. Padahal, substansi ajaran Islam justru menekankan implementasi dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar penguasaan konsep secara hafalan.
Masalah mulai tampak ketika siswa memperoleh nilai ujian agama yang tinggi, tetapi perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman seperti kejujuran, tanggung jawab, dan toleransi.
Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara evaluasi kognitif dengan proses pembentukan karakter. Evaluasi yang benar-benar efektif seharusnya mampu menjembatani ketiga aspek pembelajaran: kognitif, afektif, dan psikomotorik secara holistik.

Kurikulum Merdeka mendorong perubahan paradigma pembelajaran yang lebih menyeluruh, kontekstual, dan berorientasi pada penguatan karakter siswa sebagai bagian dari profil pelajar Pancasila. Dalam konteks ini, pendekatan evaluasi yang sempit dan hanya menekankan hasil akhir harus segera ditinggalkan. Evaluasi semestinya menjadi bagian integral dari proses pembelajaran itu sendiri.
Sayangnya, dalam praktiknya masih banyak guru PAI yang belum memiliki kompetensi memadai dalam melakukan evaluasi yang menyentuh semua aspek tersebut. Penilaian terhadap akhlak siswa masih bersifat subjektif dan belum terdokumentasi secara sistematis. Evaluasi acap kali diperlakukan sekadar sebagai formalitas administratif, bukan sebagai alat reflektif untuk mendorong transformasi perilaku siswa.
Kondisi ini diperparah dengan beban administrasi guru yang tinggi serta jumlah siswa yang banyak dalam satu kelas. Dalam situasi demikian, melakukan observasi dan penilaian autentik secara mendalam menjadi tantangan tersendiri bagi guru.
Untuk itu, perlu dilakukan transformasi menyeluruh terhadap sistem evaluasi PAI, baik dari segi pendekatan maupun instrumen. Dalam semangat Kurikulum Merdeka, guru PAI memiliki peluang besar untuk lebih kreatif merancang strategi evaluasi yang menyentuh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan adalah penilaian autentik, yakni mengukur kemampuan siswa dalam konteks nyata. Misalnya, siswa dapat diminta membuat video dakwah, menulis jurnal reflektif keagamaan, atau melaksanakan proyek sosial berbasis nilai-nilai Islam. Bentuk lainnya adalah portofolio spiritual, yaitu catatan pribadi siswa mengenai pengalaman ibadah, tantangan moral, dan refleksi keagamaan yang mereka alami.
Selain itu, penilaian diri (self-assessment) dan penilaian antarteman (peer-assessment) juga dapat digunakan untuk menumbuhkan empati, tanggung jawab, serta sikap saling menghargai di antara siswa. Teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk mendukung proses evaluasi, seperti penggunaan aplikasi digital untuk kuis, survei, hingga jurnal daring harian yang mencatat perkembangan spiritual siswa.
Namun, semua ini tidak akan efektif tanpa peran aktif guru sebagai pendidik sekaligus teladan moral. Guru PAI harus memiliki kepekaan tinggi terhadap sikap dan perilaku siswa dalam keseharian, tidak hanya terbatas pada interaksi di dalam kelas. Keterlibatan guru dalam kehidupan sosial siswa sangat penting untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai karakter mereka.
Masalahnya, tidak sedikit guru PAI yang terjebak dalam rutinitas administratif dan belum mendapatkan pelatihan profesional mengenai evaluasi holistik. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memberikan pelatihan intensif dan berkelanjutan kepada para guru. Pelatihan ini harus mencakup desain evaluasi berbasis Kurikulum Merdeka yang kontekstual, inspiratif, dan berorientasi karakter.
Lebih dari itu, penting untuk menyadari bahwa evaluasi bukanlah akhir dari proses pembelajaran, melainkan bagian integral dari pembentukan karakter dan kepribadian siswa. Dalam konteks PAI, evaluasi semestinya menjadi momen reflektif, yang memungkinkan siswa menilai kembali keyakinan, sikap, dan nilai-nilai yang mereka anut.
Dengan kata lain, evaluasi PAI harus menjadi sarana internalisasi nilai-nilai keislaman, bukan sekadar alat ukur akademik. Evaluasi yang dilakukan secara benar akan menciptakan budaya belajar yang lebih bermakna, membangun kesadaran diri, serta membentuk generasi yang tidak hanya menghafal nilai Islam, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan nyata.
Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan sinergi antarpemangku kepentingan, mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas, hingga orang tua siswa. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama perlu merumuskan kebijakan evaluasi PAI yang lebih fleksibel, integratif, dan berbasis nilai.
Di tingkat sekolah, kepala sekolah dan pengawas perlu menjadi fasilitator perubahan. Evaluasi pembelajaran agama harus diposisikan sebagai strategi utama dalam pembentukan karakter siswa, bukan sekadar pelengkap administrasi. Sekolah juga dapat mengembangkan program kolaboratif antar-mata pelajaran untuk mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dalam berbagai konteks pembelajaran.
Peran orang tua juga tidak bisa diabaikan. Evaluasi terhadap sikap keagamaan siswa tidak bisa hanya mengandalkan observasi di sekolah. Perilaku siswa di rumah dan di lingkungan sosial mereka juga menjadi indikator penting. Oleh karena itu, komunikasi antara guru dan orang tua harus dibangun secara intensif agar perkembangan karakter siswa bisa dipantau secara komprehensif.
Selain dukungan dari sekolah dan keluarga, kontribusi lembaga pendidikan tinggi juga sangat penting. Program studi Pendidikan Agama Islam harus merevisi kurikulum mereka agar selaras dengan Kurikulum Merdeka, dengan menambahkan mata kuliah evaluasi berbasis karakter dan penguatan instrumen penilaian afektif serta psikomotorik.
Penelitian tindakan kelas (PTK) juga dapat dijadikan strategi untuk meningkatkan kualitas evaluasi. Melalui PTK, guru dapat melakukan diagnosis masalah evaluasi yang dihadapi, mencoba pendekatan baru, dan menilai efektivitasnya secara sistematis. Ini akan mendorong budaya reflektif dan peningkatan profesionalisme guru PAI.
Pada akhirnya, efektivitas evaluasi pembelajaran PAI harus dipandang sebagai bagian dari perubahan besar dalam paradigma pendidikan. Evaluasi bukanlah alat untuk menghakimi, melainkan sebagai media pemahaman dan pengembangan karakter siswa.
Dengan komitmen dan kerja sama semua pihak, kita bisa mewujudkan sistem evaluasi PAI yang tidak hanya relevan dengan Kurikulum Merdeka, tetapi juga memberi dampak nyata bagi pembangunan karakter generasi masa depan.





