Menang di Tengah Ombak: Hukum Adat yang Menyelamatkan Charles Salasa

Ilustrasi foto/detik
Ilustrasi foto/detik

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman budaya dan tradisi hukum yang sangat kaya. Dalam realitas sosialnya, hukum adat masih hidup dan berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian konflik, terutama di komunitas-komunitas lokal yang memegang teguh kearifan leluhur mereka.

Namun, dalam sistem hukum nasional yang kaku dan formalistik, hukum adat sering kali dipinggirkan, bahkan dianggap tidak relevan. Ironisnya, justru dalam komunitas-komunitas ini, nilai keadilan yang otentik tumbuh dan dijaga.

Bacaan Lainnya

Salah satu contoh yang menggugah perhatian publik adalah perkara yang menimpa Charles Salasa, seorang nelayan dari Minahasa Utara. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa hukum adat tidak hanya hidup, tetapi juga relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam sistem peradilan negara.

Lebih dari itu, kisah Charles Salasa juga memperlihatkan bagaimana sistem hukum nasional perlahan-lahan mulai membuka ruang untuk pengakuan terhadap keadilan yang bersumber dari kearifan lokal.

Perkara ini bermula ketika Charles membeli sebuah rumpon, yakni alat bantu penangkapan ikan, dari seorang nelayan lain bernama Risman Tamengge. Transaksi ini terjadi pada 15 Februari 2011, setelah Risman menemukan rumpon tersebut terombang-ambing di perairan Tanjung Lampu, Talise.

Ia lalu membawa rumpon itu ke darat dan menjualnya kepada Charles dengan harga Rp1,5 juta. Namun, kemudian diketahui bahwa rumpon tersebut ternyata milik seorang bernama Herodion, yang melaporkan kehilangan ke pihak kepolisian. Akibatnya, Charles didakwa melakukan penadahan dan dijerat dengan Pasal 480 KUHP.

Secara normatif, tindakan Charles memang dapat memenuhi unsur pidana penadahan. Tetapi apa yang luput dari perhatian penegak hukum adalah kenyataan bahwa dalam tradisi nelayan di wilayah Minahasa Utara, benda-benda yang ditemukan di laut tanpa pengawasan atau tanda kepemilikan yang jelas dianggap sebagai milik sah penemu, atau orang yang membelinya dari penemu. Dengan kata lain, transaksi antara Risman dan Charles telah sah secara adat, dan tidak memiliki unsur kesengajaan untuk melakukan kejahatan.

Namun demikian, Jaksa Penuntut Umum tetap menuntut Charles dengan hukuman dua tahun penjara. Untungnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Airmadidi memutuskan untuk membebaskan Charles dari segala dakwaan. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.

Pengadilan memandang bahwa tindakan Charles harus dinilai dalam kerangka hukum adat yang berlaku dan masih dipegang oleh masyarakat pesisir Minahasa Utara.

Putusan ini menjadi penting karena memperlihatkan bahwa aparat peradilan mulai memahami pendekatan keadilan substantif—yakni keadilan yang hidup dalam masyarakat, bukan sekadar keadilan prosedural atau tekstual.

Pengadilan mengacu pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman serta prinsip NKRI.

Tak hanya itu, Pasal 5 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini semakin menguatkan legitimasi keputusan hakim untuk membebaskan Charles dari jeratan hukum nasional.

Dalam sejarah putusan Mahkamah Agung, ini bukan pertama kalinya hukum adat dijadikan pertimbangan. Dalam Putusan Nomor 1644 K/Pid/1988, MA membatalkan pemidanaan terhadap seorang terdakwa karena telah menjalani sanksi adat.

Demikian pula dalam Putusan Nomor 854 K/Pid/1983, sanksi adat di Bali diakui sebagai bagian dari sistem pemidanaan yang sah. Ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung memiliki rekam jejak dalam mengakomodasi hukum adat sebagai bagian dari sistem keadilan nasional.

Namun demikian, tantangan masih besar. Dalam praktik, aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan masih kerap mengabaikan aspek hukum adat karena minimnya pemahaman dan ketiadaan pedoman teknis.

Akibatnya, masyarakat adat sering kali menjadi korban dari sistem hukum yang tidak mampu menangkap nuansa budaya mereka. Padahal, dalam Pasal 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk diakui, dihormati, dan dilindungi hak asasinya serta diperlakukan secara adil dalam hukum dan pemerintahan.

Mengabaikan hukum adat yang hidup dalam masyarakat berarti mengabaikan hak asasi masyarakat adat itu sendiri. Karena itu, kasus Charles Salasa harus dijadikan preseden penting untuk reformasi sistem hukum nasional agar lebih inklusif dan menghormati keberagaman sistem keadilan yang ada di masyarakat.

Langkah konkret perlu segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR, yaitu dengan menyusun regulasi turunan dari UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman yang menjamin keberadaan hukum adat dalam proses peradilan, baik pidana maupun perdata.

Selain itu, pelatihan terhadap aparat penegak hukum mengenai hukum adat lokal menjadi kebutuhan mendesak. Pendidikan hukum di Indonesia juga perlu direformasi dengan menempatkan hukum adat sebagai bagian penting dalam kurikulum hukum.

Kasus Charles Salasa bukan semata soal alat tangkap ikan yang hilang. Ia adalah simbol perjuangan hukum adat untuk memperoleh pengakuan dan keadilan yang setara. Mahkamah Agung telah menunjukkan keberpihakan pada keadilan substantif, dan kini giliran negara untuk memberikan kepastian hukum atas posisi hukum adat dalam sistem peradilan Indonesia.

Sudah saatnya hukum adat tidak lagi dipandang sebagai warisan budaya yang eksotik semata, melainkan sebagai sumber hukum yang sah, hidup, dan relevan dalam menjawab tantangan keadilan di masyarakat. Charles Salasa telah membuktikan bahwa hukum adat bukanlah lawan dari hukum negara, tetapi mitra yang tak tergantikan dalam menjaga keadilan di tengah keberagaman bangsa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *