Hukum adat telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Nusantara jauh sebelum Republik Indonesia berdiri sebagai sebuah negara.
Ia hidup dan tumbuh bersama masyarakat, diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi, nilai, serta kearifan lokal yang mengakar kuat di berbagai wilayah, mulai dari ujung barat Sumatra hingga Papua di timur.
Setiap daerah memiliki sistem hukum tersendiri yang bukan hanya menjadi pedoman dalam menjalani hidup bermasyarakat, tetapi juga menjadi cerminan identitas budaya mereka.
Namun sayangnya, dalam perjalanan sejarah bangsa, hukum adat kerap terpinggirkan oleh sistem hukum yang datang dari luar. Kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad tidak hanya mengubah struktur politik dan ekonomi masyarakat Indonesia, tetapi juga membawa serta sistem hukum asing yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal.
Selepas kemerdekaan, sistem hukum negara yang dibentuk pun lebih banyak mengadopsi struktur formal dari sistem Barat, menjadikan hukum adat sebagai bagian pinggiran yang sering dianggap sekadar pelengkap.
Dalam konteks inilah Teori Receptie Exit hadir sebagai tawaran pemikiran untuk menegaskan kembali posisi hukum adat di tengah sistem hukum nasional Indonesia.
Bukan sebagai alternatif, bukan pula sebagai pelengkap, tetapi sebagai bagian yang setara—punya kekuatan dan legitimasi yang sah sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat.
Sebagai seseorang yang percaya bahwa keadilan seharusnya hadir dalam bentuk yang kontekstual—berakar dari budaya masyarakat itu sendiri—penulis melihat Teori Receptie Exit sebagai sebuah upaya pembebasan hukum adat dari bayang-bayang kolonialisme yang masih tersisa. Ini bukan sekadar wacana akademik, tetapi panggilan untuk mengakui kembali jati diri bangsa.
Untuk memahami Teori Receptie Exit, kita perlu melihat sejarah awal mula munculnya Teori Receptie. Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial memperkenalkan teori hukum yang dikenal sebagai Teori Receptie.
Dalam rumusan teori tersebut, hukum adat hanya berlaku sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam. Namun dalam kenyataannya, justru sebaliknya, hukum Islam hanya diberlakukan jika sesuai dengan hukum adat.
Ini menjadi alat manipulasi hukum oleh pemerintah kolonial untuk mengendalikan masyarakat Indonesia yang beragam sistem hukumnya.
Teori Receptie menjadi instrumen kolonial untuk menyeleksi norma-norma lokal yang boleh dipertahankan dan mana yang tidak. Akibatnya, baik hukum adat maupun hukum Islam kehilangan otonomi, dipaksakan tunduk pada otoritas hukum kolonial.
Hukum adat tidak lagi berdiri sebagai sistem hukum yang mandiri, melainkan bergantung pada interpretasi penguasa kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikiran kritis terhadap paradigma ini, salah satunya melalui gagasan Teori Receptie Exit yang dicetuskan oleh Prof. Hazairin.
Dalam pandangannya, sudah saatnya hukum adat keluar dari cengkeraman paradigma lama yang menempatkannya dalam posisi subordinat. Hukum adat harus memperoleh kembali otoritasnya sebagai hukum yang sah dan berdiri di atas pijakan budaya lokal, bukan diseleksi atau disensor oleh sistem hukum luar.
Hazairin menekankan bahwa setelah Indonesia merdeka, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan struktur hukum kolonial yang menomorduakan hukum adat. Receptie Exit adalah seruan untuk membalik arah: hukum adat adalah dasar, bukan pelengkap. Ia tumbuh bersama masyarakat, dan karena itu ia harus menjadi bagian dari sistem hukum nasional yang diakui dan dihormati.
Gagasan Receptie Exit bukanlah sekadar romantisme masa lalu. Justru di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang kadang mengikis identitas lokal, pendekatan ini menjadi sangat relevan.
Ada beberapa alasan mengapa teori ini layak untuk kembali diangkat dalam wacana hukum dan kebijakan nasional saat ini.
Pertama, hukum adat masih hidup dan berfungsi nyata dalam kehidupan masyarakat. Di banyak daerah, penyelesaian konflik tidak selalu dilakukan melalui pengadilan formal. Musyawarah adat, mediasi antarwarga, serta kesepakatan komunitas menjadi cara yang efektif dan diterima oleh semua pihak. Ini menunjukkan bahwa hukum adat bukanlah warisan usang, melainkan mekanisme hidup yang adaptif terhadap dinamika zaman.
Kedua, sistem hukum Indonesia sejatinya adalah sistem yang pluralistik. Kita bukan negara dengan satu wajah hukum, melainkan negara dengan banyak wajah yang mencerminkan keragaman budaya dan sosial. Hukum adat berpotensi menjadi mitra yang saling melengkapi hukum positif, bukan kompetitor. Di wilayah-wilayah tertentu, sinergi antara hukum negara dan hukum adat dapat menciptakan sistem keadilan yang lebih efektif dan dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Ketiga, akses terhadap keadilan bagi masyarakat kecil kerap kali lebih nyata melalui mekanisme hukum adat. Biaya perkara, jarak ke pengadilan, dan kompleksitas prosedur hukum formal sering kali menjadi hambatan bagi masyarakat pedesaan. Dalam konteks ini, hukum adat lebih inklusif dan menjangkau mereka yang tak terjangkau oleh sistem hukum formal.
Keempat, memperkuat hukum adat juga berarti memperkuat hak-hak masyarakat adat itu sendiri. Dalam banyak kasus, sengketa tanah, eksploitasi sumber daya alam, dan pembangunan infrastruktur besar kerap kali merugikan komunitas adat karena lemahnya posisi hukum mereka di mata negara. Dengan memberikan pengakuan yang sah terhadap hukum adat, negara dapat hadir sebagai pelindung masyarakat adat, bukan sebagai pelaku marginalisasi.
Meski menawarkan pendekatan yang menarik dan berakar kuat, penerapan Teori Receptie Exit tentu tidak bebas hambatan. Ada sejumlah tantangan struktural dan kultural yang harus dihadapi jika kita sungguh ingin menjadikan hukum adat sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional.
Salah satu tantangan terbesar adalah belum meratanya pengakuan resmi terhadap komunitas adat. Banyak komunitas adat yang masih belum memiliki status hukum yang diakui oleh negara. Tanpa pengakuan ini, akan sulit bagi mereka untuk menggunakan atau menegakkan hukum adat secara formal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, minimnya dokumentasi hukum adat menjadi masalah tersendiri. Sebagian besar norma hukum adat masih disampaikan secara lisan dan berbasis praktik. Sifatnya yang fleksibel dan kontekstual membuatnya sulit dibakukan. Namun, justru karakteristik ini yang membuat hukum adat mampu bertahan dan relevan di tengah perubahan zaman.
Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah potensi konflik antara nilai-nilai hukum adat dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Misalnya, dalam beberapa komunitas adat, masih terdapat norma yang mendiskriminasi perempuan atau anak di luar nikah. Oleh karena itu, perlu ada upaya rekonstruksi hukum adat agar tetap selaras dengan nilai-nilai universal tanpa kehilangan jati dirinya.
Teori Receptie Exit tidak hanya bicara soal kerangka hukum, tetapi juga tentang membangun kembali kepercayaan masyarakat adat terhadap negara. Ini adalah langkah untuk memperkuat fondasi keadilan yang sesuai dengan jati diri bangsa. Jika hukum negara mampu mengakomodasi hukum adat secara adil, maka kehadiran negara tidak lagi hanya terasa di gedung pengadilan, tetapi juga di ruang-ruang komunitas, di ladang-ladang adat, serta di tanah-tanah warisan leluhur.
Langkah konkret untuk mewujudkan ini tentu tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Mulai dari pengakuan formal terhadap komunitas adat, pendokumentasian hukum adat secara partisipatif, pelatihan aparat hukum yang memahami konteks lokal, hingga kolaborasi aktif antara negara dan masyarakat adat dalam menyusun kebijakan.
Indonesia adalah negara yang dibangun di atas keberagaman. Dalam konteks ini, hukum adat bukanlah penghalang kemajuan, melainkan salah satu tiang penyangga peradaban hukum yang adil dan manusiawi. Teori Receptie Exit menawarkan kita jendela baru untuk melihat hukum bukan sebagai sistem yang seragam dan kaku, tetapi sebagai refleksi dari nilai-nilai hidup masyarakat.
Sudah saatnya kita berhenti melihat hukum adat sebagai warisan masa lalu yang harus dikompromikan. Justru sebaliknya, hukum adat adalah masa depan hukum Indonesia yang lebih adil, berakar, dan mampu mengayomi seluruh warganya tanpa kehilangan akar budayanya.





