Dalam khazanah hukum Indonesia, hukum adat memegang posisi penting sebagai refleksi nilai-nilai, kebiasaan, dan norma yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat lokal sejak masa lampau.
Berbeda dengan hukum positif yang bersandar pada peraturan tertulis, hukum adat lahir dan tumbuh dari kehidupan sosial masyarakat, menjadikannya cerminan identitas kultural yang khas di setiap daerah.
Salah satu teori yang kerap dijadikan rujukan dalam menjelaskan hubungan antara hukum adat dan agama di Indonesia adalah Teori Receptio in Complexu. Teori ini menyatakan bahwa ketika suatu masyarakat memeluk agama tertentu, maka secara otomatis hukum agama tersebut akan melebur dan berlaku dalam sistem hukum adat mereka.
Namun, sejauh mana teori ini masih relevan di tengah kompleksitas pluralisme hukum di Indonesia saat ini? Untuk menjawabnya, perlu dilakukan telaah melalui pendekatan kontekstual dan studi kasus.
Hukum adat memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari sistem hukum formal. Ia bersumber dari kebiasaan dan tradisi yang telah lama hidup di tengah masyarakat, bersifat fleksibel, dan memiliki kekuatan karena mendapat pengakuan serta penerimaan dari komunitas setempat.
Salah satu fungsi utamanya adalah menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan melalui musyawarah, mediasi, atau pendekatan non-litigasi lainnya.
Di Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan beragam suku bangsa, hukum adat tidak hanya menjadi pelengkap hukum nasional, tetapi justru menjadi dasar utama dalam penyelesaian masalah di banyak komunitas, terutama di daerah-daerah yang masih memegang erat nilai-nilai tradisional.
Teori Receptio in Complexu pertama kali diperkenalkan oleh Van den Berg, seorang ahli hukum kolonial Belanda. Dalam pandangannya, masyarakat adat yang telah memeluk agama tertentu (khususnya Islam), secara otomatis juga menerima seluruh sistem hukum agama tersebut sebagai bagian dari hukum adat. Artinya, hukum adat tunduk pada hukum agama.
Namun, teori ini tidak diterima secara universal. Salah satu kritik utama datang dari Hazairin, yang kemudian mengusulkan Teori Receptio a Contrario. Menurut Hazairin, hukum adat adalah sistem hukum yang independen dan memiliki kekuatan tersendiri, sehingga tidak otomatis tunduk pada hukum agama. Ia menilai bahwa pemaksaan penerapan hukum agama ke dalam sistem adat justru mengabaikan dinamika dan keberagaman sosial budaya masyarakat Indonesia.
Untuk memahami penerapan Teori Receptio in Complexu dalam konteks nyata, mari meninjau praktik hukum waris di masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat. Suku Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan ditarik melalui jalur ibu. Dalam sistem ini, perempuan menjadi pewaris utama harta pusaka keluarga.
Namun, di sisi lain, mayoritas masyarakat Minangkabau adalah Muslim yang tentu saja merujuk pada hukum waris Islam. Dalam Islam, pembagian warisan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang tertulis dalam Al-Qur’an, di mana anak laki-laki memperoleh dua bagian dibandingkan anak perempuan.
Di sinilah muncul konflik norma. Dalam hukum adat Minangkabau, harta pusaka tinggi (harta warisan turun-temurun) diwariskan kepada perempuan demi menjaga keberlangsungan garis keturunan. Sebaliknya, hukum Islam menuntut pembagian warisan berdasarkan dalil-dalil agama yang sifatnya universal dan mengikat bagi umat Muslim.
Menurut teori Receptio in Complexu, karena masyarakat Minangkabau memeluk Islam, maka hukum Islam seharusnya berlaku pula dalam pembagian waris. Akan tetapi, dalam kenyataannya, tidak semua keluarga Minangkabau mengikuti aturan Islam dalam hal ini. Tradisi tetap dipegang kuat, terutama dalam hal pengelolaan dan pewarisan harta pusaka tinggi.
Contohnya dapat dilihat dalam kasus di Kabupaten Tanah Datar, di mana satu keluarga tetap menggunakan hukum adat dalam pembagian warisan, meskipun ada tekanan dari pihak luar untuk menerapkan hukum Islam. Mereka beralasan bahwa harta pusaka tinggi bukanlah milik individu, melainkan milik kolektif keluarga besar yang harus dijaga oleh perempuan sebagai penjaga garis keturunan.
Fenomena ini memperlihatkan adanya keberlangsungan nilai-nilai adat di tengah arus modernisasi dan Islamisasi. Masyarakat Minangkabau dalam hal ini tidak menolak hukum Islam, tetapi mereka memilih untuk mempertahankan hukum adat karena dianggap lebih sesuai dengan struktur sosial dan identitas kultural mereka.
Dari sisi teoretis, Receptio in Complexu memberi landasan untuk memahami bagaimana hukum agama bisa mengintegrasi dengan sistem hukum adat dalam masyarakat yang religius. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa teori ini tidak bisa diterapkan secara kaku dan universal.
Banyak masyarakat adat tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi mereka meski bertentangan dengan prinsip hukum agama. Ini membuktikan bahwa hukum adat memiliki kekuatan normatif sendiri dan sering kali lebih diterima oleh komunitas karena sesuai dengan realitas sosial mereka.
Dalam konteks modern, di mana sistem hukum Indonesia bersifat pluralistik, penerapan teori Receptio in Complexu membutuhkan pendekatan yang lebih bijak dan kontekstual. Negara tidak bisa serta-merta menghapus hukum adat demi keseragaman hukum agama, karena justru keberagaman hukum adalah kekayaan dan kekuatan Indonesia.
Studi kasus Minangkabau menunjukkan bahwa teori Receptio in Complexu memang memberi pemahaman tentang hubungan antara agama dan adat. Namun, penerapannya tidak selalu mencerminkan kenyataan sosial di masyarakat Indonesia yang sangat pluralistik. Tradisi lokal seperti sistem waris matrilineal tetap dipertahankan karena diyakini lebih sesuai dengan struktur sosial dan budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan hukum yang lebih fleksibel dan inklusif agar hukum adat dan hukum agama tidak saling bertentangan, melainkan bisa berjalan berdampingan. Sistem peradilan modern di Indonesia perlu memberi ruang bagi nilai-nilai lokal, sambil tetap menjaga prinsip keadilan dan kesetaraan di tengah masyarakat yang majemuk.





