Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, para siswa kini hidup dalam era yang serba instan. Cukup dengan beberapa klik dan ketikan, mereka dapat memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan termasuk soal majas hiperbola hingga makna simbolik dalam puisi Chairil Anwar.
Dalam hitungan detik, kecerdasan buatan seperti ChatGPT atau Gemini menyajikan informasi yang lengkap dan sistematis, seakan menggantikan peran sumber belajar konvensional. Fenomena ini menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi para pengajar, khususnya guru bahasa.
Muncul pertanyaan mendasar: apakah peran guru akan tergantikan? Masihkah kehadiran guru relevan di tengah derasnya arus informasi digital?
Penggunaan AI dalam dunia pendidikan telah menjadi keniscayaan. Kini, banyak siswa justru lebih mahir memanfaatkan teknologi dibandingkan gurunya. Celah inilah yang seharusnya menyadarkan para pengajar bahwa teknologi bukan musuh yang harus dihindari, melainkan peluang yang perlu dikuasai. AI, jika digunakan dengan tepat dan beretika, justru bisa menjadi alat bantu untuk menciptakan ruang belajar yang lebih kreatif, adaptif, dan bermakna.
Alih-alih merasa terancam, guru seharusnya melihat AI sebagai mitra. Peran AI dalam pendidikan tidak bisa disangkal, mulai dari menyusun bahan ajar, mencari referensi tambahan, hingga mengembangkan media pembelajaran yang menarik.
Namun, penting dipahami bahwa AI hanya sebatas alat yang tidak mampu meniru seluruh aspek kepribadian manusia. AI tidak memiliki empati, tidak bisa merasakan emosi, dan tentu saja tidak mampu menanamkan nilai-nilai karakter seperti halnya seorang guru.
Sebagai contoh, dalam pembelajaran teks deskripsi, guru bisa meminta siswa menggunakan AI untuk menemukan struktur dan contoh teks. Selanjutnya, siswa diajak membandingkan informasi tersebut dengan penjelasan dalam buku ajar atau sumber lain. Kegiatan ini akan menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis, tidak sekadar menyalin informasi, tetapi benar-benar memahami isi dan struktur yang disajikan.
Langkah lanjutan bisa berupa analisis terhadap hasil teks buatan AI, apakah memiliki kohesi dan koherensi yang baik? Apakah struktur kalimatnya logis dan mengikuti alur berpikir yang tepat? Aktivitas seperti ini tidak hanya memperkaya keterampilan literasi siswa, tetapi juga mendekatkan mereka pada praktik evaluasi konten digital secara cermat dan kontekstual.
Sayangnya, kemudahan akses teknologi juga membawa tantangan tersendiri. Tidak sedikit siswa yang menjadi terlalu bergantung, bahkan ‘manja’ terhadap informasi instan yang diberikan AI. Mereka tidak lagi terbiasa membaca, menganalisis, dan menyaring informasi secara mandiri.
Di sinilah peran guru sebagai fasilitator benar-benar dibutuhkan. Guru tidak hanya hadir sebagai penyampai materi, tetapi sebagai pembimbing yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan daya nalar, ketajaman berpikir, dan sikap bijak dalam menyikapi informasi.
Kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan peran guru sebetulnya bisa ditepis. Justru pada titik inilah, guru dituntut untuk lebih reflektif dan inovatif. Kolaborasi antara guru dan teknologi menjadi kunci utama pembelajaran masa depan. Guru yang mampu mengadopsi teknologi secara bijak akan lebih siap menghadapi generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital.
AI memang bisa menjadi jembatan untuk menggali ribuan informasi dalam waktu singkat, namun tetap saja, sentuhan manusia dalam mendidik tak tergantikan. Pendidikan bukan semata soal transfer ilmu, tetapi juga soal membentuk kepribadian, karakter, dan nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, mari kita jadikan teknologi sebagai alat yang bisa kita kendalikan, bukan sebaliknya.
Menjadi guru bahasa di era AI bukan berarti kehilangan peran, melainkan menemukan bentuk peran yang baru: sebagai pengarah, kolaborator, dan penjaga nilai-nilai luhur pendidikan. Inilah saatnya untuk tidak takut, tetapi justru semakin kuat berdiri sebagai pendidik sejati yang bersinergi dengan zaman.