Tradisi Methik Pari bukan sekadar seremoni panen, tetapi merupakan perwujudan nyata dari hukum adat yang menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan budaya. Di tengah derasnya arus modernisasi dan kian lunturnya nilai-nilai lokal, Methik Pari menjadi simbol perlawanan yang senyap namun bermakna terhadap kepunahan kearifan tradisional.
Indonesia dikenal bukan hanya karena kekayaan alam dan keanekaragaman hayatinya, tetapi juga karena keragaman budaya tak benda yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Salah satu warisan budaya yang masih lestari adalah tradisi agraris masyarakat Jawa, salah satunya Methik Pari.
Upacara adat ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen padi, dan hingga kini masih dilestarikan di berbagai daerah, termasuk di Desa Argotirto, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.
Namun, di balik ritual-ritual seperti sesaji, iringan musik rakyat, dan semangat gotong royong, tersimpan sebuah sistem norma yang secara tidak tertulis telah menjadi bagian dari sistem hukum masyarakat—hukum adat.
Seperti yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich mengenai “living law”, dan diperkuat oleh para pemikir hukum adat Indonesia seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, serta Hazairin, hukum adat tumbuh dari praktik sosial dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, mempertahankan Methik Pari bukan hanya menjaga budaya, melainkan juga mempertahankan sistem hukum khas Nusantara yang semakin terpinggirkan oleh arus globalisasi.
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah norma sosial yang tumbuh dari masyarakat, tidak tertulis, namun ditaati dan dijadikan pedoman dalam bertindak. Tradisi Methik Pari mencerminkan konsep tersebut dengan sangat jelas.
Di masyarakat Argotirto, proses panen tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada perhitungan hari baik berdasarkan pranata mangsa, kewajiban menyiapkan sesaji, doa-doa yang dipimpin oleh tokoh adat atau dukun tani, serta larangan-larangan yang harus dipatuhi seperti penggunaan alat panen modern sebelum prosesi adat selesai dijalankan.
Aturan-aturan tersebut bukan sekadar kebiasaan, tetapi telah menjadi konsensus sosial. Pelanggarannya akan menimbulkan sanksi, seperti pengucilan dari kegiatan desa atau dipercaya akan mengalami gagal panen. Inilah karakteristik hukum adat: tidak tertulis namun mengikat, ditegakkan oleh masyarakat sendiri, dan berlaku secara turun-temurun.
Dalam tradisi Methik Pari, dapat kita temukan berbagai unsur hukum adat. Pertama, adanya norma dan larangan, seperti larangan memanen sebelum waktu yang ditentukan atau kewajiban menyediakan sesaji sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri, simbol kesuburan dalam budaya agraris Jawa.
Kedua, terdapat sanksi sosial, di mana pelanggar bisa dijauhi atau tidak diikutsertakan dalam panen bersama. Ketiga, terdapat kelembagaan adat berupa sesepuh desa atau dukun tani yang memiliki otoritas dalam menentukan sah atau tidaknya pelaksanaan panen. Mereka berfungsi layaknya hakim dalam sistem hukum formal.
Ter Haar menyatakan bahwa hukum adat merupakan “putusan para pejabat hukum dalam masyarakat yang memiliki otoritas untuk menegakkan aturan.” Dalam hal ini, tokoh adat memegang posisi penting sebagai penjaga harmoni dan nilai.
Sayangnya, nilai-nilai luhur dalam tradisi seperti Methik Pari kini menghadapi ancaman serius. Perkembangan teknologi pertanian, penetrasi ekonomi pasar, serta rendahnya minat generasi muda terhadap budaya lokal menggerus eksistensi hukum adat.
Alat tradisional seperti gejug lesung tak lagi digunakan, tergantikan oleh mesin modern. Spiritualitas dan nilai gotong royong dalam Methik Pari semakin memudar, tergantikan oleh logika efisiensi dan produktivitas.
Pemerintah pun kerap kali mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada aspek teknis dan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dimensi kultural. Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun dalam praktiknya, pengakuan tersebut belum sepenuhnya diwujudkan dalam bentuk perlindungan regulatif yang konkret.
Untuk menyelamatkan Methik Pari dan hukum adat secara umum, diperlukan langkah nyata dari negara. Salah satu caranya adalah dengan mendorong lahirnya regulasi daerah yang memberikan perlindungan hukum terhadap praktik-praktik adat, khususnya yang berkaitan dengan pertanian tradisional. Selain itu, peran lembaga pendidikan juga sangat krusial.
Kurikulum sekolah perlu menyisipkan materi budaya lokal, termasuk tradisi seperti Methik Pari, dalam bentuk teks naratif, prosedural, maupun puisi. Dengan begitu, anak-anak akan tumbuh dengan penghargaan terhadap warisan leluhur mereka sendiri.
Methik Pari bukan hanya urusan panen, melainkan bentuk penghormatan terhadap alam. Dalam tradisi ini, panen dilakukan secara selaras dengan siklus alam. Ada pemahaman bahwa tanah, air, dan tumbuhan memiliki roh yang patut dihormati.
Hukum adat memandang alam sebagai makhluk hidup yang memiliki kedudukan spiritual, bukan sekadar objek produksi. Ini berbeda dari pendekatan hukum negara yang lebih menekankan aspek ekonomi dan administratif.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, hukum adat seperti yang terkandung dalam Methik Pari justru relevan. Ia menyatukan aspek sosial, ekologis, dan spiritual yang selama ini cenderung dipisahkan oleh sistem hukum positif. Oleh karena itu, memperkuat hukum adat bukanlah bentuk romantisme masa lalu, melainkan strategi realistis untuk menyelamatkan masa depan.
Apa yang terjadi di ladang-ladang padi Desa Argotirto sesungguhnya lebih dari sekadar aktivitas bertani. Ia adalah ekspresi dari sistem hukum lokal yang telah teruji oleh waktu. Methik Pari menjadi bukti bahwa hukum tidak selalu harus berasal dari negara. Ia bisa lahir dari kearifan kolektif masyarakat, dari nilai-nilai yang dijaga dengan kesadaran bersama.
Ketika negara tidak mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan hukum formalnya, hukum adat hadir sebagai penjaga nilai. Ia memberikan pedoman hidup, menyatukan komunitas, dan mencegah kekosongan norma sosial. Oleh karena itu, sudah saatnya hukum adat tidak lagi dipandang inferior, melainkan sejajar dalam kerangka hukum nasional, sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas hukum Indonesia.
Jika Methik Pari punah, maka kita kehilangan lebih dari sekadar budaya. Kita kehilangan sistem hukum yang lahir dari bumi sendiri—sebuah jati diri bangsa yang tak tergantikan. Maka, menyelamatkan Methik Pari adalah menyelamatkan hukum adat. Dan menyelamatkan hukum adat adalah menyelamatkan Indonesia.





