Nasib Sastrawan Indonesia: Antara Penghormatan dan Ketidakpastian

Opini Salwa Faradisa Fresantin
Opini Salwa Faradisa Fresantin

Dalam beberapa tahun terakhir, nasib sastrawan Indonesia berada di persimpangan antara penghormatan simbolik dan kenyataan hidup yang serba tak menentu. Di satu sisi, profesi sastrawan tetap dipandang terhormat dalam lanskap budaya nasional.

Jajak pendapat Kompas pada Mei 2025 mencatat bahwa lebih dari separuh masyarakat menganggap sastrawan sebagai sosok yang dihargai, bahkan sangat dihormati karena kontribusinya terhadap budaya dan literasi bangsa.

Bacaan Lainnya

Namun, di balik penghormatan simbolis tersebut, kehidupan para sastrawan tidak selalu diliputi kesejahteraan. Apresiasi dalam bentuk nyata seperti perlindungan hak cipta, penghargaan finansial, dan jaminan profesi masih jauh dari harapan.

Banyak sastrawan masih harus bergulat dengan honorarium yang rendah, royalti minim yang hanya berkisar 5–10 persen, serta maraknya pembajakan yang merugikan secara ekonomi. Salah satu contoh yang mencuat adalah pengalaman penulis J.S. Khairen, ketika ia menemukan bukunya dibajak dan dibawa pembaca untuk ditandatangani.

Insiden itu mencerminkan lemahnya perlindungan hukum terhadap karya sastra, meskipun sudah ada payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sayangnya, implementasi undang-undang tersebut belum berjalan maksimal dan belum cukup berpihak pada sastrawan.

Lebih dari itu, kebebasan berekspresi yang menjadi nafas utama sastra juga mulai terancam. Karya-karya sastra yang memuat kritik sosial sering kali dianggap “berisiko” oleh penerbit atau bahkan pihak berwenang.

Tak jarang, naskah-naskah tersebut akhirnya tidak mendapat ruang tayang, mengalami penyensoran, atau dikesampingkan begitu saja. Situasi ini mengkhawatirkan, sebab sastra memiliki fungsi penting sebagai cermin sosial dan penjaga nurani publik dalam kehidupan demokratis.

Tantangan lain datang dari perkembangan teknologi. Di satu sisi, digitalisasi literasi membuka akses luas bagi sastrawan untuk mempublikasikan karya mereka melalui platform daring. Namun di sisi lain, kehadiran kecerdasan buatan (AI) menghadirkan persaingan yang tidak bisa diabaikan.

AI kini mampu menghasilkan puisi, cerpen, bahkan novel dalam hitungan detik. Para sastrawan pun dituntut untuk lebih kreatif, bukan hanya dalam menulis, tetapi juga dalam membangun komunitas pembaca dan memasarkan karya secara digital.

Meski demikian, masih ada harapan. Sejak tahun 2023, pemerintah dan berbagai komunitas sastra mulai menunjukkan upaya konkret untuk memperbaiki ekosistem sastra. Dukungan berupa dana bantuan, festival sastra, pelatihan penulisan, hingga penerbitan antologi kolektif mulai digalakkan. Ruang-ruang semacam ini menjadi penting untuk memperkuat jaringan antarpenulis dan memperkenalkan sastra kepada generasi muda secara lebih inklusif.

Ke depan, keberlangsungan profesi sastrawan sangat bergantung pada keberpihakan kebijakan negara, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sastra, serta daya adaptasi penulis terhadap dinamika zaman.

Perlindungan hak cipta yang lebih ketat, sistem royalti yang transparan dan adil, serta jaminan terhadap kebebasan berekspresi bukan hanya menjadi kebutuhan, melainkan keharusan. Hanya dengan itu, sastrawan Indonesia dapat hidup secara layak, serta terus berkarya sebagai penjaga budaya dan pembentuk peradaban bangsa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *