Bullying kerap dipersepsikan sebagai problem yang hanya terjadi di jenjang sekolah dasar atau menengah. Padahal, perguruan tinggi yang idealnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk tumbuh dan mengembangkan potensi intelektual tidak sepenuhnya bebas dari praktik perundungan.
Bentuknya memang lebih halus, tersamar, dan kerap tidak dikenali sebagai tindakan bullying. Justru karena sifatnya yang subtil, pencegahan bullying di kampus menjadi isu yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
Di lingkungan perguruan tinggi, perundungan hadir dalam beragam bentuk: intimidasi senior kepada junior, pengucilan dalam kelompok belajar, komentar merendahkan, tekanan dalam organisasi, hingga kekerasan verbal atau psikologis yang dibungkus sebagai “canda”.
Tekanan sosial untuk menyesuaikan diri (conformity) pun dapat menjelma menjadi beban mental yang membuat mahasiswa merasa terpojok. Situasi ini menegaskan bahwa pencegahan bullying bukan hanya tugas reaktif, tetapi harus menjadi budaya yang dibangun dan dijaga oleh seluruh civitas akademika.
Pertama, kampus perlu menegaskan bahwa bullying tidak selalu berupa kekerasan fisik. Bentuk perundungan emosional dan psikologis justru meninggalkan luka yang lebih panjang. Banyak mahasiswa kehilangan motivasi belajar, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi akibat perlakuan yang tidak mereka sadari sebagai bullying.
Karena itu, institusi harus memberikan edukasi komprehensif mengenai definisi, bentuk, dan tanda-tanda perundungan agar mahasiswa mampu mengenalinya sejak awal.
Kedua, budaya senioritas yang berlebihan harus mendapatkan perhatian serius. Tidak semua tradisi antarangkatan bersifat negatif, tetapi beberapa praktik mudah bergeser menjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Tekanan berlebihan dari senior, metode pendisiplinan yang menjatuhkan martabat, atau aktivitas organisasi yang dibalut narasi “pembentukan karakter” kerap menjelma menjadi ruang legitimasi bagi perundungan. Pembentukan karakter tidak semestinya dilakukan dengan menakut-nakuti atau merendahkan. Ia tumbuh melalui pendampingan, dialog, dan relasi yang saling menghargai.
Ketiga, setiap perguruan tinggi perlu menyediakan mekanisme pelaporan bullying yang aman, tegas, dan tidak menghakimi. Banyak mahasiswa memilih diam karena takut tidak dipercaya, khawatir dianggap lemah, atau takut dicap tidak solid.
Karena itu, kampus harus menghadirkan kanal pengaduan yang menjamin kerahasiaan, keselamatan, sekaligus kepastian tindak lanjut. Penanganan laporan tidak boleh sebatas formalitas atau dibungkam demi menjaga citra institusi. Transparansi dan profesionalisme adalah kunci untuk membangun kepercayaan mahasiswa.
Selain prosedur formal, dukungan sosial juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa senior perlu terlibat aktif dalam membangun lingkungan yang inklusif dan suportif.
Gestur sederhana seperti menyapa mahasiswa baru, menawarkan bantuan ketika ada yang kesulitan, atau tidak membiarkan rekan diperlakukan secara merendahkan dapat menciptakan atmosfer yang lebih aman. Pencegahan bullying harus tumbuh dari empati, bukan semata-mata regulasi.
Keempat, mahasiswa juga perlu menyadari bahwa setiap individu datang ke kampus dengan latar belakang berbeda. Tidak semua mampu beradaptasi dengan ritme akademik dan sosial yang kompetitif. Ada yang pemalu, mudah cemas, atau membawa beban personal yang berat.
Bullying sering terjadi ketika keberagaman ini tidak dikenali atau diabaikan. Karena itu, toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan merupakan fondasi utama terciptanya kehidupan kampus yang sehat.
Pencegahan bullying di perguruan tinggi adalah tanggung jawab bersama. Ia tidak cukup diwujudkan dalam bentuk peraturan tertulis, tetapi harus hadir dalam praktik sehari-hari, keputusan lembaga, dan interaksi antarmahasiswa.
Kampus yang sehat bukan hanya ruang untuk mengejar nilai dan gelar, tetapi tempat di mana mahasiswa merasa aman menjadi diri sendiri, berani berkembang, dan tumbuh sebagai pribadi yang bermartabat. Dengan komitmen kolektif, praktik perundungan dapat diminimalkan, dan perguruan tinggi benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai ruang belajar yang manusiawi.





