Penerapan Teori Receptio in Complexu dalam Penyelesaian Sengketa Waris Adat di Masyarakat Bali

Ilustrasi foto/canva
Ilustrasi foto/canva

Dalam keragaman sistem hukum yang berkembang di Indonesia, terdapat dinamika menarik antara hukum nasional, hukum Islam, dan hukum adat. Ketiganya tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi seringkali saling bertemu, bahkan berbenturan, terutama dalam persoalan waris.

Salah satu contoh menarik dari pertemuan sistem hukum ini terlihat dalam konteks masyarakat Bali yang memiliki karakteristik hukum adat yang kuat, kental dengan nilai spiritual dan budaya Hindu.

Bacaan Lainnya

Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum pluralistik, di mana berbagai norma hukum hidup berdampingan dan saling memengaruhi. Dalam perkara warisan, kita mengenal tiga sistem hukum utama yang berlaku: hukum waris berdasarkan Burgerlijk Wetboek (BW), hukum waris Islam, dan hukum waris adat. Ketiganya memiliki pijakan historis dan filosofi tersendiri.

Hukum waris adat, yang tumbuh dari tradisi masyarakat lokal, memainkan peran penting dalam komunitas-komunitas yang masih menjunjung tinggi nilai leluhur. Di Bali, hukum waris adat tidak semata-mata menyangkut pembagian harta, melainkan juga memuat dimensi spiritual dan sosial yang erat dengan ajaran Hindu. Inilah mengapa penyelesaian konflik warisan di Bali tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan hukum privat, tetapi juga sebagai bagian dari harmoni masyarakat adat.

Dalam konteks inilah, teori Receptio in Complexu menjadi penting untuk dibahas. Teori ini awalnya berkembang dalam ranah hukum Islam, namun pemahaman dan penerapannya bisa diperluas dalam konteks masyarakat adat seperti di Bali.

Melalui studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 257 K/Pdt/2019, kita dapat melihat bagaimana prinsip-prinsip teori ini diterapkan secara kontekstual dalam penyelesaian sengketa waris adat.

Teori Receptio in Complexu dikembangkan oleh Van den Berg pada masa kolonial Belanda sebagai bentuk pengakuan terhadap keberlakuan hukum Islam secara menyeluruh bagi umat Muslim di Indonesia, termasuk dalam perkara waris.

Teori ini merupakan reaksi terhadap teori Receptie milik Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa hukum Islam hanya berlaku jika telah diterima oleh hukum adat.

Meskipun awalnya dikembangkan untuk konteks Islam, esensi teori Receptio in Complexu — yakni pengakuan penuh terhadap sistem hukum yang menyatu dengan kepercayaan dan struktur sosial — juga relevan untuk memahami hukum adat Bali.

Di Bali, nilai-nilai hukum adat tidak terpisah dari ajaran Hindu dan sistem kekerabatan tradisional. Hukum adat Bali bahkan bisa dianggap sebagai bentuk hukum yang menyatu dengan kehidupan spiritual masyarakat, mulai dari pengelolaan tanah hingga pelaksanaan upacara adat.

Dalam struktur masyarakat Bali, sistem pewarisan mengikuti garis kekerabatan patrilineal. Hanya anak laki-laki yang memiliki hak utama atas warisan keluarga, terutama terhadap karang (tanah) dan merajan (tempat suci keluarga). Anak perempuan, meskipun tetap dihormati secara sosial, dianggap tidak memiliki hak waris karena akan menjadi bagian dari keluarga suami setelah menikah.

Salah satu bentuk sistem pewarisan di Bali adalah sistem mayorat, yakni pengutamaan anak laki-laki tertua sebagai penerima utama warisan sekaligus pemikul tanggung jawab spiritual keluarga. Anak tertua ini wajib menyelenggarakan ritual keagamaan, seperti upacara ngaben, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur. Warisan tidak hanya bermakna ekonomis, tetapi juga sebagai tanggung jawab menjaga kesinambungan spiritual keluarga.

Sengketa waris yang terjadi di Desa Timuhan, Kecamatan Bajarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali, memperlihatkan bagaimana hukum adat tetap menjadi acuan utama dalam penyelesaian konflik keluarga. Seorang ahli waris mengklaim tanah warisan seluas 4.150 meter persegi karena merasa telah membayar pajak atas tanah tersebut. Ia menuntut pengakuan sebagai pemilik tunggal.

Namun, pengadilan menolak gugatan tersebut. Hakim berpendapat bahwa tanah tersebut masih merupakan harta bersama atau duwe tengah, yang belum dibagikan kepada para ahli waris. Karena pewaris memiliki enam anak laki-laki, maka tanah harus dibagi merata, masing-masing memperoleh 1/6 bagian.

Mahkamah Agung menguatkan keputusan ini, dengan alasan bahwa pembayaran pajak bukan bukti mutlak kepemilikan, dan sistem waris adat Bali berlandaskan pada prinsip kolektif kekerabatan patrilineal.

Putusan ini memperlihatkan bahwa hukum adat Bali memiliki sistem tersendiri yang lengkap dan terintegrasi dengan struktur sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, teori Receptio in Complexu dapat dibaca ulang sebagai pengakuan terhadap keberlakuan hukum adat secara menyeluruh, tanpa harus menunggu validasi dari sistem hukum nasional.

Artinya, meskipun teori ini muncul dari konteks hukum Islam, gagasan utamanya — bahwa sistem hukum religius dan adat dapat berlaku penuh dalam komunitas yang meyakininya — juga cocok diterapkan di Bali. Hukum adat di sini tidak hanya bertahan, tetapi menjadi bagian integral dari sistem sosial, budaya, dan spiritual masyarakat.

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa lembaga peradilan Indonesia bersedia mengakomodasi hukum adat sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan perkara. Pengadilan tidak secara otomatis menggunakan KUHPerdata, tetapi mempertimbangkan kondisi sosial-budaya lokal yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa hukum adat tidak lagi berada di posisi subordinat, tetapi setara dan sah sebagai sistem hukum yang hidup (living law).

Penerapan teori Receptio in Complexu dalam konteks masyarakat Bali menegaskan pentingnya penghormatan terhadap kearifan lokal dalam praktik hukum nasional. Negara tidak hanya perlu mengakomodasi hukum adat, tetapi juga mendukung revitalisasinya sebagai bagian dari identitas hukum bangsa. Dalam konteks warisan, pendekatan ini membantu menjaga stabilitas sosial dan memperkuat nilai-nilai spiritual yang diwariskan lintas generasi.

Penguatan hukum adat tidak berarti melawan modernitas. Sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa modernitas hukum Indonesia mampu merangkul keberagaman sistem hukum dan menjadikannya kekuatan dalam merespons kompleksitas masyarakat.

Ke depan, pengakuan terhadap hukum adat, seperti yang ditunjukkan dalam perkara ini, dapat menjadi landasan kuat untuk membangun sistem hukum nasional yang inklusif dan berkeadilan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *