Provinsi Bangka Belitung selama ini dikenal sebagai salah satu sentra penghasil timah terbesar di dunia. Kontribusinya terhadap perekonomian daerah dan nasional tidak dapat disangkal. Namun, capaian ekonomi tersebut datang dengan konsekuensi yang tidak sederhana.
Di balik geliat industri tambang, muncul persoalan sosial, ekologis, dan hukum yang semakin sering memicu ketegangan di tingkat lokal. Salah satu contohnya terlihat di Desa Jada Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, ketika warga menolak rencana penambangan yang berada sangat dekat dengan permukiman dan kebun produktif mereka.
Kasus ini memperlihatkan secara gamblang bagaimana kepentingan industri dapat berbenturan dengan hak dasar masyarakat atas ruang hidup yang aman dan lingkungan yang lestari.
Penolakan warga bukan sekadar bentuk ketidaksetujuan emosional, melainkan manifestasi dari kesadaran kolektif mengenai risiko sosial-ekologis yang selalu datang bersama aktivitas tambang. Lokasi penambangan yang terlalu dekat dengan permukiman berpotensi menurunkan kualitas tanah, merusak hasil kebun, hingga mengubah ekosistem mikro yang menopang kehidupan sehari-hari.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa kebijakan penetapan wilayah tambang seharusnya mengedepankan prinsip kehati-hatian, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara manfaat ekonomi dan daya dukung lingkungan.
Ketika perusahaan maupun pemerintah abai terhadap prinsip ini, konflik sosial menjadi keniscayaan. Ketegangan semacam itu tidak hanya mengganggu stabilitas komunitas, tetapi juga merusak kepercayaan warga terhadap tata kelola sumber daya alam.
Di balik sikap penolakan tersebut, ada pula nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi panduan masyarakat dalam mengelola ruang hidup. Nilai itu yang merupakan perpaduan antara kearifan ekologis, pengalaman turun-temurun, dan keterikatan dengan tanah sering kali menjadi rujukan warga untuk menilai risiko pembangunan industri.
Dalam perspektif keberlanjutan, respons warga dapat dipahami sebagai usaha menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Integrasi pengetahuan lokal dalam pengambilan keputusan bukanlah romantisme, tetapi sebuah kebutuhan agar pembangunan tidak memutus rantai kesejahteraan yang sudah terbentuk secara alami di tingkat komunitas.
Faktor lain yang memperkeruh keadaan adalah minimnya akses warga terhadap informasi penting mengenai batas tambang, proses perizinan, serta potensi dampak lingkungan. Ketimpangan informasi ini menimbulkan kesan bahwa keputusan dibuat sepihak, tanpa membuka ruang dialog yang layak.
Teori partisipasi publik menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan perencanaan dapat meningkatkan transparansi, memperkuat legitimasi sosial, dan memberi kesempatan bagi warga untuk menilai manfaat dan risiko secara lebih objektif. Ketika mekanisme partisipasi ini diabaikan, protes warga bukan hal yang mengejutkan.
Dalam perspektif hukum perdata, kegiatan pertambangan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat dapat menjadi dasar gugatan. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian harus diganti.
Dengan demikian, warga yang merasa dirugikan memiliki landasan legal untuk menuntut pertanggungjawaban, sepanjang mereka mampu menyertakan bukti mulai dari sertifikat kepemilikan lahan, dokumentasi dampak, hingga kesaksian ahli. Sejumlah kasus sebelumnya menunjukkan bahwa dokumentasi faktual berperan krusial dalam menilai apakah perusahaan telah lalai atau melanggar aturan yang berlaku.
Aspek pidana juga tidak dapat dikesampingkan. Undang-Undang Minerba serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan sanksi tegas terhadap kegiatan pertambangan ilegal maupun praktik yang terbukti merusak lingkungan.
Bila ditemukan bukti bahwa aktivitas penambangan dilakukan tanpa izin atau melanggar ketentuan, proses hukum dapat berjalan dari penyelidikan hingga penuntutan. Penegakan hukum di sektor ini penting bukan hanya untuk memberi efek jera, tetapi juga untuk memastikan bahwa industri tambang berjalan dalam koridor legal yang melindungi masyarakat dan ekosistem.
Konflik tambang seperti di Jada Bahrin juga membawa dampak psikologis dan sosial yang sering kali luput dari pembahasan publik. Kebisingan alat berat, debu, perubahan lanskap, dan kekhawatiran akan hilangnya ruang hidup aman memengaruhi kenyamanan serta kesehatan mental warga.
Ilmu sosial menunjukkan bahwa industri ekstraktif tidak hanya menimbulkan gangguan fisik, tetapi juga menciptakan tekanan psikologis dan rasa kehilangan identitas ruang bagi komunitas lokal. Ketidaklibatan warga dalam pengawasan maupun perencanaan memperparah kondisi ini.
Dari sisi ekonomi, potensi hilangnya lahan produktif atau turunnya kualitas kebun merupakan ancaman langsung bagi penghidupan keluarga. Masyarakat di wilayah pedesaan sangat bergantung pada stabilitas sumber ekonomi berbasis lahan.
Ketika lahan rusak atau produksi menurun, mereka dipaksa mencari sumber pendapatan baru atau menanggung beban ekonomi yang lebih berat. Perspektif ekonomi sosial menegaskan bahwa pendapatan daerah dari sektor tambang tidak boleh mengorbankan kesejahteraan warga yang hidup di sekitar lokasi penambangan.
Kasus Jada Bahrin memperlihatkan bahwa tata kelola pertambangan yang berkelanjutan harus mengintegrasikan tiga pilar utama: perlindungan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan manfaat ekonomi.
Keterlibatan warga secara aktif, transparansi informasi, serta kepatuhan terhadap hukum perdata dan pidana merupakan unsur penting agar pembangunan tambang tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya. Pendekatan yang berpijak pada data, teori keberlanjutan, serta kearifan lokal akan membuka ruang dialog yang lebih sehat antara pemerintah, perusahaan, dan warga.
Pengalaman warga Jada Bahrin menjadi pengingat bahwa pembangunan industri ekstraktif tidak boleh mengedepankan logika keuntungan jangka pendek. Diperlukan pendekatan yang arif dan menyeluruh memadukan analisis ilmiah, partisipasi publik, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap ruang hidup masyarakat. Barulah keseimbangan antara kepentingan industri dan keberlanjutan kehidupan warga dapat dicapai tanpa mengorbankan salah satu pihak.





